Senin, 07 Desember 2015

Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah Melalui Forum Mediasi Perbankan






BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Dunia bisnis saat ini telah berkembang tanpa batas sehingga mampu menerobos berbagai dimensi kehidupan dan perilaku perekonomian. Salah satu bisnis yang berkembang saat ini adalah di bidang perbankan. Peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat, yaitu dalam bentuk kredit masih merupakan pilihan utama bank. Hidup matinya suatu usaha perbankan sangatlah dipengaruhi oleh jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode. Artinya, makin banyak kredit yang disalurkan, makin besar pula perolehan laba dari bidang ini sehingga mampu mempertahankan kelangsungan hidup dan sekaligus memperbesar usaha yang sudah ada. Dalam praktiknya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus diikuti oleh kualitas kredit tersebut. Artinya, makin berkualitas kredit yang diberikan atau memang layak untuk disalurkan, akan memperkecil risiko terhadap kemungkinan kredit tersebut bermasalah.

Sebaik mungkin analisis kredit dalam melakukan analisa terhadap permohonan kredit, kemungkinan kredit macet/bermasalah pasti ada. Istilah kredit bermasalah sering juga dipakai istilah yang lebih teknis yaitu Non Performing Loan (NPL), yaitu suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi kewajiban atas kredit yang ia peroleh dari bank, yaitu kewajiban atas pembayaran bunga dan pokok pinjaman.

Sebagai salah satu upaya untuk memperkecil risiko kredit seperti diatas maka dalam pemberian kredit bank diwajibkan adanya agunan kredit. Fungsi dari pemberian jaminan adalah guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitor bercidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Pada tataran praktik agunan yang sering digunakan adalah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah memiliki bukti berupa sertifikat dan diikat oleh hak tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

Dalam menangani kredit bermasalah seperti diatas berbagai upaya dilakukan oleh Bank guna mengembalikan kembali uang nasabah penyimpan baik melalui upaya penagihan biasa atupun melalui upaya lainnya. Proses recovery yang dilakukan oleh Bank sangat sulit karena pada umumnya debitur yang dihadapi adalah debitur dalam keadaan bankrut, memiliki itikad yang tidak baik, meninggal dunia, bahkan debitur tersebut kabur (skip). Untuk menghadapi hal tersebut Bank biasanya menggunakan mekanisme lelang eksekusi hak tanggungan (parate executie). Pada pelaksanaan lelang yang sering terjadi adalah Bank selalu menghadapi gugatan balik dari debitur yang tidak ingin agunannya dilelang. Gugatan tersebut didasarkan bahwa Bank melakukan lelang tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari debitur, padahal dalam akta perjanjian sudah tercantum klausul apabila debitur wanprestasi bank akan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk mengembalikan asset bank termasuk upaya lelang. Hal inilah yang sering menjadi sengketa antara bank dengan debiturnya, dimana debitur merasa tindakan lelang merupakan tindakan yang melawan hukum.

Mengamati kegiatan bisnis perbankan diatas yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan.

Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model ini semestinya tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.

Secara teknis, fungsi peradilan atau tugas mengadili dirumuskan untuk “memeriksa dan memutus perkara”. Memutuskan perkara atau suatu sengketa tidak selalu sama dengan “menyelesaikan” atau “solution” atau “solving” perkara atau sengketa tersebut, karena terkadang Putusan Hakim ada kemungkinan memperdalam luka-luka/mempertajam persengketaan karena pada hakikatnya sengketa itu tidak pernah terselesaikan, bahkan dengan putusan Hakim tersebut mengandung potensi menimbulkan sengekta atau perselisihan baru. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu sekali ada perubahan orientasi dari “memutuskan perkara” menjadi “menyelesaikan perkara”. Sebagaimana diungkap oleh Abraham Lincoln bahwa : “Dalam setiap perkara sesungguhnya tidak ada pihak yang menang”, semua kalah hanya satu yang menang yaitu Penasehat Hukum yang menerima bayaran dari pihak-pihak yang berperkara.

Korelasi atau hubungan berbanding lurus dari perlu adanya perubahan orientasi dari “memutuskan perkara” menjadi “menyelesaikan perkara” adalah arbitrasi, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses peradilan mempunyai maksud yang sama dengan praktek tetua atau kiayi sebagaimana di sebutkan di atas, yaitu menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan perkara atau perselisihan.

Praktek perbankan selama ini dalam menyelesaikan sengketa belum banyak mempergunakan proses non- litigasi. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian- perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah yang tidak mencantumkan klasul seperti arbitrase, mediasi, dan sebagainya seperti yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau arbitrase bersifat formal, memaksa, melihat masalah ke belakang dengan memperhatikan ciri pertentangan dan apa yang mendasarkan hak-hak. Dalam hal ini para pihak yang menyelesaikan suatu sengketa harus melalui prosedur pemutusan perkara yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ketat dan hak serta kewajiban hukum para pihak. Sebaliknya, penyelesaian sengketa alternatif sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif dan berdasar kepentingan.



1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan melalui forum Mediasi Perbankan?

2. Bagaimana kekuatan hukum hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan?















BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Forum Mediasi Perbankan

Perkreditan merupakan salah satu usaha penting bagi bank dalam memberikan keuntungan, tetapi berbagai masalah atas penyaluran kredit harus dihadapi perbankan. Akhir-akhir ini banyak kritikan terhadap kinerja perbankan nasional yang dilakukan oleh praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini sehubungan dengan adanya kredit bermasalah yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di sejumlah bank tersebut.

Kredit bermasalah atau nonperforming loan merupakan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya. Resiko tersebut berupa keadaan di mana kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya (wanprestasi). Kredit bermasalah atau nonperforming loan di perbankan itu dapat di sebabkan oleh beberapa faktor, misalnya, ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses kredit, kesalahan procedur pemberian kredit, atau disebabkan faktor lain seperti faktor makro ekonomi. Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dari prinsip kepercayaan, yang sering menjadi sumber malapetaka bagi kreditur sehubungan dengan kredit macet. Berbagai unsur seperti safety, soundness, without substantial risk – pun dalam perundang-undangan/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataannya kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet.

Keadaan demikian dapat menimbulkan adanya suatu sengketa antara perbankan dan debitur. Dalam dunia bisnis khususnya perbankan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi merupakan hal yang sangat dihindari, hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti waktu penyelesaian yang cukup lama, biaya yang cukup mahal, dan terutama reputasi dari perbankan tersebut akan hancur apabila masyarakat banyak melihak suatu bank bersengketa di pengadilan. Untuk mengakomodir hal tersebut maka dunia perbankan memerlukan suatu alternative penyelesaian sengketa yang lebih baik. Dengan hadirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maka kebutuhan dunia perbankan akan suatu dasar hukum alternative penyelesaian sengketa menjadi terpenuhi.

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa.

Khusus untuk perbankan mengenai mediasi diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank. Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

Pengertian Mediasi secara normatif tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu pengertian mediasi di ambil dari pendapat ahli dan kamus. Menurut Rachmadi Usman mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Sementara dalam Black Law Dictionary mengenai mediasi ini didefiniskan sebagai berikut:

Mediation is privat, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties.

Jadi, mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud (mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan. Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran alternatif solusi dan para pihak sendiri yang pada akhirnya memberikan putusannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah di sini di samping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan.

Adapun yang menjadi tujuan dari lembaga mediasi secara umum adalah: (1) untuk menemukan solusi terbaik atas sengketa yang terjadi di antara para pihak, dimana solusi ini dapat mereka percayai atau jalankan dan bukan untuk mencari kebenaran atau memaksakan penegakan hukum, melainkan untuk menyelesaikan masalah; (2) mensosialisasikan dan mengembangkan konsep mediasi kepada publik, pemerintah dan organisasi dengan bekerjasama dengan berbagai institusi; (3) mendorong pemanfaatan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan semangat musyawarah; dan (4) memberikan jasa mediasi.

Mediasi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court) ini memiliki beberapa manfaat, antara lain yakni: (1) dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat, menghemat waktu, biaya, skill; (2) pelaksanaannya secara tertutup dan rahasia, (3) prosedur dan proses bersifat informal, (4) fokus kepada akar permasalahan dengan memperhatikan aspek-aspek komersial, psikologis dan emosi para pihak, (5) bentuk penyelesaian pada hakikatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa khusus untuk penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank, berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 dapat dilaksanakan oleh Mediasi Perbankan yang sedianya akan dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Independen. Namun mengingat Lembaga Mediasi Independen belum dapat dibentuk oleh Asosiasi Perbankan, maka fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Mediasi merupakan suatu proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Mediasi biasa dipakai untuk menyelesaikan case-case keperdataan. PBI No.8/5/PBI/2006 memberikan kewenangan kepada BI untuk sementara melaksanakan mediasi perbankan sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan indipenden, yang selambat-lambatnya dibentuk 31 Desember 2007 . Artinya, pelaksanaan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia bersifat sementara (temporary) sebelum terbentuknya lembaga baru yang secara khusus melaksanakan mediasi perbankan nantinya.

Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang permasalahan atau sengketa yang timbul di antara mereka untuk memperoleh kesepakatan. Adapun yang dimaksud dengan “membantu Nasabah dan Bank” adalah Bank Indonesia memfasilitasi penyelesaian Sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.

Banyak para ahli berpendapat bahwa PBI No. 8/5/PBI/2006 dan SEBI No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan, tidak sepenuhnya sesuai prinsip mediasi, karena:

a. Pengajuan penyelesaian mediasi hanya dilakukan oleh nasabah/perwakilan nasabah (Pasal 7 ayat (1) PBI No. 8/5/PBI/2006);

b. Mengandung unsur paksaan (kewajiban) kepada bank untuk memenuhi panggilan BI dan mengikuti proses mediasi (Pasal 7 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006);

c. Terdapat ancaman pengenaan sanksi adimistratif dan tingkat kesehatan bank (seharusnya dalam rangka pengawasan) jika bank tidak melaksanakan hal-hal yang ditentukan dalam Akta Kesepakatan Mediasi ( Pasal 16 PBI No. 8/5/PBI/2006).

Terlepas dari perdebatan yang masih berlangsung, di bawah ini Penulis akan memaparkan beberapa ketentuan dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Forum Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diatur dengan PBI No. 8/5/PBI/2006 Jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Pertama, Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan (Pasal 1 angka 5 PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan).

Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan sebagaimana telah disebut dalam ketentuan Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni:

a. Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan

b. Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.

Kedua, Proses beracara dalam Media Perbankan secara teknis telah diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

a. Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.

b. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.

Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:

a. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;

b. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;

c. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;

d. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

e. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan

f. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kemudian Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk itu di sini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah.

Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).

Ketiga, secara lebih detail dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, ketentuan dan proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut:

1. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa

a. Pengajuan penyelesaian sengketa nasabah hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut

b. Sengketa yang diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.

c. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan format sesuai Lampiran 1 SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) dengan menyertakan dokumen yang dipersyaratkan.

Pelaksana fungsi Mediasi Perbankan dapat menolak pengajuan penyelesaian sengketa yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud.

2. Batas waktu

Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos.

Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.

3. Nilai tuntutan finansial

Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).

4. Cakupan nilai tuntutan finansial

a. Nilai kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah.

b. Potensi kerugian karena penundaaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain.

c. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa.

d. Nilai tuntutan finansial ini tidak termasuk nilai kerugian immaterial.

5. Prosedur

a. Atas dasar pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah, pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan bank secara lisan dan atau tertulis.

b. Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah dan bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan mediasi perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate).

c. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan bank.

Yang dimaksud dengan bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan, sedangkan yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pada ketentuan Pasal 14 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah.

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tersebut disebutkan bahwa informasi yang wajib dipublikasikan oleh Bank paling kurang memuat:

a. Prosedur yang harus ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa;

b. Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa;

c. Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa;

d. Nilai tuntutan finansial maksimum untuk setiap Sengketa, yaitu berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya- biaya yang telah dikeluarkan Nasbah untuk menyelesaikan Sengketa; dan

e. Cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian immaterial.

Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap bank, menurut hemat Penulis hendaknya juga dilaksanakan oleh Bank Indonesia sejak dini melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi di bidang Mediasi Perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Lebih lanjut Penulis berpendapat bahwa ketentuan ini akan efektif jika klausula yang berisi perjanjian mediasi (agreement to mediate) tertulis dalam produk-produk yang diberikan oleh bank, misalnya pencantuman dalam klusula penyelesaian sengketa pada perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan bank atau pencantuman dalam rekening nasabah deposan.

Berdasarkan pada pemaparan di atas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan melalui Mediasi Perbankan sudah memiliki tata cara dan prosedur yang jelas, walaupun memang kalau dilihat dari kaca mata teori pranata mediasi secara umum masih terdapat beberapa hal yang bertentangan sebagaimana tersebut di atas.



2.2 Kekuatan Hukum Hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

Penyelesaian sengketa sebagaimana telah disinggung di muka termasuk hukum perjanjian, sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Para pihak bebas memilih forum dan hukum yang berlaku untuk penyelesaian sengketa yang terjadi di antara mereka. Hal serupa juga terdapat pada dunia perbankan, dimana para pihak yakni pihak bank dan nasabah mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang ada.

Salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan adalah melalui Mediasi Perbankan. Sama dengan mediasi pada umumnya di sini juga terdapat pihak ketiga yang netral (mediator). Jika kita ikuti ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita katakan bahwa mediator dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Mediator ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3)).

b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (4) dimaksud, maka Mediator dalam Lembaga Mediasi Perbankan termasuk dalam Mediator yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang telah dipilih oleh para pihak. Karena Bank Indonesia yang saat ini sementara melaksanakan fungsi Mediasi Perbankan, maka mediator dimaksud adalah mediator yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.

Mengenai kekuatan hukum dari putusan mediasi dapat kita baca dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

Kalau kita kaji lebih dalam bahwa kekuatan mengikat hasil mediasi pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi di samping harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank

Kemudian berdasarkan Pasal 12 PBI No 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank. Konsekuensi hukum setelah penandatangan Akta Kesepakatan, yaitu bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dan Bank. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 yang menyebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Apabila pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu sanksi administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh dari Mediasi Perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik ( in good faith). Dalam hal pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa Mediasi Perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mediasi pada umumnya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar