Senin, 07 Desember 2015

Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah Melalui Forum Mediasi Perbankan






BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Dunia bisnis saat ini telah berkembang tanpa batas sehingga mampu menerobos berbagai dimensi kehidupan dan perilaku perekonomian. Salah satu bisnis yang berkembang saat ini adalah di bidang perbankan. Peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu Negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu Negara. Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat, yaitu dalam bentuk kredit masih merupakan pilihan utama bank. Hidup matinya suatu usaha perbankan sangatlah dipengaruhi oleh jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode. Artinya, makin banyak kredit yang disalurkan, makin besar pula perolehan laba dari bidang ini sehingga mampu mempertahankan kelangsungan hidup dan sekaligus memperbesar usaha yang sudah ada. Dalam praktiknya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus diikuti oleh kualitas kredit tersebut. Artinya, makin berkualitas kredit yang diberikan atau memang layak untuk disalurkan, akan memperkecil risiko terhadap kemungkinan kredit tersebut bermasalah.

Sebaik mungkin analisis kredit dalam melakukan analisa terhadap permohonan kredit, kemungkinan kredit macet/bermasalah pasti ada. Istilah kredit bermasalah sering juga dipakai istilah yang lebih teknis yaitu Non Performing Loan (NPL), yaitu suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi kewajiban atas kredit yang ia peroleh dari bank, yaitu kewajiban atas pembayaran bunga dan pokok pinjaman.

Sebagai salah satu upaya untuk memperkecil risiko kredit seperti diatas maka dalam pemberian kredit bank diwajibkan adanya agunan kredit. Fungsi dari pemberian jaminan adalah guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitor bercidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Pada tataran praktik agunan yang sering digunakan adalah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah memiliki bukti berupa sertifikat dan diikat oleh hak tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

Dalam menangani kredit bermasalah seperti diatas berbagai upaya dilakukan oleh Bank guna mengembalikan kembali uang nasabah penyimpan baik melalui upaya penagihan biasa atupun melalui upaya lainnya. Proses recovery yang dilakukan oleh Bank sangat sulit karena pada umumnya debitur yang dihadapi adalah debitur dalam keadaan bankrut, memiliki itikad yang tidak baik, meninggal dunia, bahkan debitur tersebut kabur (skip). Untuk menghadapi hal tersebut Bank biasanya menggunakan mekanisme lelang eksekusi hak tanggungan (parate executie). Pada pelaksanaan lelang yang sering terjadi adalah Bank selalu menghadapi gugatan balik dari debitur yang tidak ingin agunannya dilelang. Gugatan tersebut didasarkan bahwa Bank melakukan lelang tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari debitur, padahal dalam akta perjanjian sudah tercantum klausul apabila debitur wanprestasi bank akan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk mengembalikan asset bank termasuk upaya lelang. Hal inilah yang sering menjadi sengketa antara bank dengan debiturnya, dimana debitur merasa tindakan lelang merupakan tindakan yang melawan hukum.

Mengamati kegiatan bisnis perbankan diatas yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan.

Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian sengketa bisnis model ini semestinya tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.

Secara teknis, fungsi peradilan atau tugas mengadili dirumuskan untuk “memeriksa dan memutus perkara”. Memutuskan perkara atau suatu sengketa tidak selalu sama dengan “menyelesaikan” atau “solution” atau “solving” perkara atau sengketa tersebut, karena terkadang Putusan Hakim ada kemungkinan memperdalam luka-luka/mempertajam persengketaan karena pada hakikatnya sengketa itu tidak pernah terselesaikan, bahkan dengan putusan Hakim tersebut mengandung potensi menimbulkan sengekta atau perselisihan baru. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu sekali ada perubahan orientasi dari “memutuskan perkara” menjadi “menyelesaikan perkara”. Sebagaimana diungkap oleh Abraham Lincoln bahwa : “Dalam setiap perkara sesungguhnya tidak ada pihak yang menang”, semua kalah hanya satu yang menang yaitu Penasehat Hukum yang menerima bayaran dari pihak-pihak yang berperkara.

Korelasi atau hubungan berbanding lurus dari perlu adanya perubahan orientasi dari “memutuskan perkara” menjadi “menyelesaikan perkara” adalah arbitrasi, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses peradilan mempunyai maksud yang sama dengan praktek tetua atau kiayi sebagaimana di sebutkan di atas, yaitu menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan perkara atau perselisihan.

Praktek perbankan selama ini dalam menyelesaikan sengketa belum banyak mempergunakan proses non- litigasi. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian- perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah yang tidak mencantumkan klasul seperti arbitrase, mediasi, dan sebagainya seperti yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau arbitrase bersifat formal, memaksa, melihat masalah ke belakang dengan memperhatikan ciri pertentangan dan apa yang mendasarkan hak-hak. Dalam hal ini para pihak yang menyelesaikan suatu sengketa harus melalui prosedur pemutusan perkara yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ketat dan hak serta kewajiban hukum para pihak. Sebaliknya, penyelesaian sengketa alternatif sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif dan berdasar kepentingan.



1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan melalui forum Mediasi Perbankan?

2. Bagaimana kekuatan hukum hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan?















BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Forum Mediasi Perbankan

Perkreditan merupakan salah satu usaha penting bagi bank dalam memberikan keuntungan, tetapi berbagai masalah atas penyaluran kredit harus dihadapi perbankan. Akhir-akhir ini banyak kritikan terhadap kinerja perbankan nasional yang dilakukan oleh praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini sehubungan dengan adanya kredit bermasalah yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di sejumlah bank tersebut.

Kredit bermasalah atau nonperforming loan merupakan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya. Resiko tersebut berupa keadaan di mana kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya (wanprestasi). Kredit bermasalah atau nonperforming loan di perbankan itu dapat di sebabkan oleh beberapa faktor, misalnya, ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses kredit, kesalahan procedur pemberian kredit, atau disebabkan faktor lain seperti faktor makro ekonomi. Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dari prinsip kepercayaan, yang sering menjadi sumber malapetaka bagi kreditur sehubungan dengan kredit macet. Berbagai unsur seperti safety, soundness, without substantial risk – pun dalam perundang-undangan/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataannya kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet.

Keadaan demikian dapat menimbulkan adanya suatu sengketa antara perbankan dan debitur. Dalam dunia bisnis khususnya perbankan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi merupakan hal yang sangat dihindari, hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti waktu penyelesaian yang cukup lama, biaya yang cukup mahal, dan terutama reputasi dari perbankan tersebut akan hancur apabila masyarakat banyak melihak suatu bank bersengketa di pengadilan. Untuk mengakomodir hal tersebut maka dunia perbankan memerlukan suatu alternative penyelesaian sengketa yang lebih baik. Dengan hadirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maka kebutuhan dunia perbankan akan suatu dasar hukum alternative penyelesaian sengketa menjadi terpenuhi.

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa.

Khusus untuk perbankan mengenai mediasi diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank. Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

Pengertian Mediasi secara normatif tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu pengertian mediasi di ambil dari pendapat ahli dan kamus. Menurut Rachmadi Usman mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Sementara dalam Black Law Dictionary mengenai mediasi ini didefiniskan sebagai berikut:

Mediation is privat, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties.

Jadi, mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud (mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan. Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran alternatif solusi dan para pihak sendiri yang pada akhirnya memberikan putusannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah di sini di samping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan.

Adapun yang menjadi tujuan dari lembaga mediasi secara umum adalah: (1) untuk menemukan solusi terbaik atas sengketa yang terjadi di antara para pihak, dimana solusi ini dapat mereka percayai atau jalankan dan bukan untuk mencari kebenaran atau memaksakan penegakan hukum, melainkan untuk menyelesaikan masalah; (2) mensosialisasikan dan mengembangkan konsep mediasi kepada publik, pemerintah dan organisasi dengan bekerjasama dengan berbagai institusi; (3) mendorong pemanfaatan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan semangat musyawarah; dan (4) memberikan jasa mediasi.

Mediasi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court) ini memiliki beberapa manfaat, antara lain yakni: (1) dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat, menghemat waktu, biaya, skill; (2) pelaksanaannya secara tertutup dan rahasia, (3) prosedur dan proses bersifat informal, (4) fokus kepada akar permasalahan dengan memperhatikan aspek-aspek komersial, psikologis dan emosi para pihak, (5) bentuk penyelesaian pada hakikatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa khusus untuk penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank, berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 dapat dilaksanakan oleh Mediasi Perbankan yang sedianya akan dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Independen. Namun mengingat Lembaga Mediasi Independen belum dapat dibentuk oleh Asosiasi Perbankan, maka fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Mediasi merupakan suatu proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Mediasi biasa dipakai untuk menyelesaikan case-case keperdataan. PBI No.8/5/PBI/2006 memberikan kewenangan kepada BI untuk sementara melaksanakan mediasi perbankan sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan indipenden, yang selambat-lambatnya dibentuk 31 Desember 2007 . Artinya, pelaksanaan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia bersifat sementara (temporary) sebelum terbentuknya lembaga baru yang secara khusus melaksanakan mediasi perbankan nantinya.

Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang permasalahan atau sengketa yang timbul di antara mereka untuk memperoleh kesepakatan. Adapun yang dimaksud dengan “membantu Nasabah dan Bank” adalah Bank Indonesia memfasilitasi penyelesaian Sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.

Banyak para ahli berpendapat bahwa PBI No. 8/5/PBI/2006 dan SEBI No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan, tidak sepenuhnya sesuai prinsip mediasi, karena:

a. Pengajuan penyelesaian mediasi hanya dilakukan oleh nasabah/perwakilan nasabah (Pasal 7 ayat (1) PBI No. 8/5/PBI/2006);

b. Mengandung unsur paksaan (kewajiban) kepada bank untuk memenuhi panggilan BI dan mengikuti proses mediasi (Pasal 7 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006);

c. Terdapat ancaman pengenaan sanksi adimistratif dan tingkat kesehatan bank (seharusnya dalam rangka pengawasan) jika bank tidak melaksanakan hal-hal yang ditentukan dalam Akta Kesepakatan Mediasi ( Pasal 16 PBI No. 8/5/PBI/2006).

Terlepas dari perdebatan yang masih berlangsung, di bawah ini Penulis akan memaparkan beberapa ketentuan dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Forum Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diatur dengan PBI No. 8/5/PBI/2006 Jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Pertama, Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan (Pasal 1 angka 5 PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan).

Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan sebagaimana telah disebut dalam ketentuan Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni:

a. Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan

b. Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.

Kedua, Proses beracara dalam Media Perbankan secara teknis telah diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

a. Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.

b. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.

Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:

a. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;

b. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;

c. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;

d. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

e. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan

f. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kemudian Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk itu di sini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah.

Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).

Ketiga, secara lebih detail dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, ketentuan dan proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut:

1. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa

a. Pengajuan penyelesaian sengketa nasabah hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut

b. Sengketa yang diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.

c. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan format sesuai Lampiran 1 SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) dengan menyertakan dokumen yang dipersyaratkan.

Pelaksana fungsi Mediasi Perbankan dapat menolak pengajuan penyelesaian sengketa yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud.

2. Batas waktu

Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos.

Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.

3. Nilai tuntutan finansial

Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).

4. Cakupan nilai tuntutan finansial

a. Nilai kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah.

b. Potensi kerugian karena penundaaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain.

c. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa.

d. Nilai tuntutan finansial ini tidak termasuk nilai kerugian immaterial.

5. Prosedur

a. Atas dasar pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah, pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan bank secara lisan dan atau tertulis.

b. Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah dan bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan mediasi perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate).

c. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan bank.

Yang dimaksud dengan bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan, sedangkan yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pada ketentuan Pasal 14 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah.

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tersebut disebutkan bahwa informasi yang wajib dipublikasikan oleh Bank paling kurang memuat:

a. Prosedur yang harus ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa;

b. Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa;

c. Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa;

d. Nilai tuntutan finansial maksimum untuk setiap Sengketa, yaitu berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya- biaya yang telah dikeluarkan Nasbah untuk menyelesaikan Sengketa; dan

e. Cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian immaterial.

Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap bank, menurut hemat Penulis hendaknya juga dilaksanakan oleh Bank Indonesia sejak dini melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi di bidang Mediasi Perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Lebih lanjut Penulis berpendapat bahwa ketentuan ini akan efektif jika klausula yang berisi perjanjian mediasi (agreement to mediate) tertulis dalam produk-produk yang diberikan oleh bank, misalnya pencantuman dalam klusula penyelesaian sengketa pada perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan bank atau pencantuman dalam rekening nasabah deposan.

Berdasarkan pada pemaparan di atas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan melalui Mediasi Perbankan sudah memiliki tata cara dan prosedur yang jelas, walaupun memang kalau dilihat dari kaca mata teori pranata mediasi secara umum masih terdapat beberapa hal yang bertentangan sebagaimana tersebut di atas.



2.2 Kekuatan Hukum Hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

Penyelesaian sengketa sebagaimana telah disinggung di muka termasuk hukum perjanjian, sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Para pihak bebas memilih forum dan hukum yang berlaku untuk penyelesaian sengketa yang terjadi di antara mereka. Hal serupa juga terdapat pada dunia perbankan, dimana para pihak yakni pihak bank dan nasabah mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang ada.

Salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan adalah melalui Mediasi Perbankan. Sama dengan mediasi pada umumnya di sini juga terdapat pihak ketiga yang netral (mediator). Jika kita ikuti ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita katakan bahwa mediator dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Mediator ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3)).

b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (4) dimaksud, maka Mediator dalam Lembaga Mediasi Perbankan termasuk dalam Mediator yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang telah dipilih oleh para pihak. Karena Bank Indonesia yang saat ini sementara melaksanakan fungsi Mediasi Perbankan, maka mediator dimaksud adalah mediator yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.

Mengenai kekuatan hukum dari putusan mediasi dapat kita baca dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

Kalau kita kaji lebih dalam bahwa kekuatan mengikat hasil mediasi pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi di samping harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank

Kemudian berdasarkan Pasal 12 PBI No 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank. Konsekuensi hukum setelah penandatangan Akta Kesepakatan, yaitu bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dan Bank. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 yang menyebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Apabila pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu sanksi administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh dari Mediasi Perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik ( in good faith). Dalam hal pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa Mediasi Perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mediasi pada umumnya.








Jumat, 17 April 2015

KEJAHATAN BISNIS


BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang



Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.

Pasar modal (seringkali disebut dengan bursa efek) merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat dalam hal investasi, sekaligus juga merupakan sumber pembiayaan bagi perusahan-perusahaan di Indonesia. Pasar modal dapat pula menjadi alat ukur bagi perkembangan perekonomian di tanah air dan cerminan tingkat kepercayaan investor domestik maupun internasional terhadap perangkat hukum dan kinerja pemerintah dalam dunia perekonomian.

Sebagai instrumen ekonomi, pasar modal tidak luput dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkaya dirinya secara melawan hukum. Kejahatan di bidang pasar modal tergolong rumit dan sulit dibuktikan, apalagi diperkarakan di hadapan pengadilan, mengingat sifat pasar yang sangat sensitif terhadap fakta materil (pemberitaan terkait jalannya proses peradilan) berupa informasi terkait pasar modal. Umumnya kejahatan yang terjadi di pasar modal dilakukan secara profesional oleh penjahat “kerah putih” (white colar criminal), sedemikian sehingga para korbannya tidak sadar telah dirugikan oleh tindak kejahatan tersebut.

Banyak sekali trik bisnis dilakukan di pasar modal, bahkan banyak yang menjurus ke tindak pidana, sehingga untuk mencegah kerugian dan ketidak adilan bagi pihak masyarakat atau bagi pihak tertentu, sektor hukum harus menyediakan perangkatnya yang jelas dan komprehensif.

Mengingat pentingnya peranan pasar modal terhadap perekonomian Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang tegas dan jelas untuk mengaturnya. Saat ini Indonesia memiliki Undang-undang khusus yang mengatur tentang pasar modal, yaitu UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam rangka upaya pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pasar modal, dibentuklah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang keberadaan, tugas, dan wewenangnya diatur di dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU No.8 Tahun 1995. Dengan adanya Bapepam beserta kewenangannya untuk memeriksa, menyidik, dan menjatuhkan sanksi administratif, diharapkan agar kejahatan yang terjadi dalam lingkup pasar modal dapat diberantas, atau sekurang-kurangnya dapat dicegah.



1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa saja bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dilakukan dan terjadi dalam kegiatan pasar modal ?

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap kejahatan pasar modal di Indonesia ?

3. Bagaimanakah peran Bapepam dalam memberantas kejahatan pasar modal di Indonesia ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dilakukan dan terjadi dalam kegiatan pasar modal.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap kejahatan pasar modal di Indonesia.

3. Untuk mengetahui peran Bapepam dalam memberantas kejahatan pasar modal di Indonesia.





BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Bentuk-Bentuk Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Dan Terjadi Dalam Kegiatan Pasar Modal



Kejahatan di bidang pasar modal adalah kejahatan yang khas dilakukan oleh pelaku pasar modal dalam kegiatan pasar modal. Persoalan terjadinya kejahatan dan pelanggaran di pasar modal diasumsikan berdasarkan beberapa alasan, antara lain: kesalahan pelaku, kelemahan aparat yang mencakup integritas dan profesionalisme, serta kelemahan peraturan. Bapepam berkewajiban untuk selalu melakukan penelaahan hukum yang menyangkut perlindungan dan penegakan hukum yang semakin penting. Dikatakan penting karena, lembaga pasar modal merupakan lembaga kepercayaan, yaitu sebagai lembaga perantara (intermediary) yang menghubungkan kepentingan pemakai dana dan para pemilik dana. Dengan demikian perangkat perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi penegakan hukum di dalam memberi jaminan dan kepastian hukum kepada pelaku pasar modal.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan pidana pasar modal berserta sanksi bagi pelakunya. Perbuatan yang dilarang tersebut meliputi:

1. Pemalsuan Dan Penipuan

Penipuan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 90 huruf c, adalah: membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan memengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.

Larangan tersebut ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam perdagangan efek, bahkan turut serta melakukan penipuan pun tak lepas dari jerat pasal ini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378 tentang penipuan, disebutkan bahwa penipuan adalah tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara:

a) Melawan hukum;

b) Memakai nama palsu atau martabat palsu;

c) Tipu muslihat;

d) Rangkaian kebohongan;

e) Membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang.

Terkait dengan pengertian KUHP tentang penipuan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 juga memberikan beberapa spesifikasi mengenai pengertian penipuan, yaitu terbatas dalam kegiatan perdagangan efek yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan efek yang terjadi dalam rangka penawaran umum, atau terjadi di bursa efek maupun diluar bursa atas efek emiten atau perusahaan publik. Mengenai pengertian tipu muslihat atau rangkaian kebohongan sebagaimana ditentukan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 menegaskan bahwa hal tersebut termasuk membuat pernyataan yang tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta yang material.



2. Manipulasi Pasar

Tindakan manipulasi pasar adalah merupakan serangkaian tindakan yang maksudnya untuk menciptakan gambaran yang keliru dan menyesatkan tentang adanya perdagangan yang aktif, keadaan pasar atau harga dari satu efek di bursa efek, melakukan jual beli yang tidak mengakibatkan terjadinya perubahan Pemilik Penerima Manfaat, atau transaksi semu.

Seperti namanya (manipulasi pasar) tindakan ini hanya terjadi di pasar sekunder (di bursa) yaitu sesudah saham-saham yang dijual melalui penawaran umum didaftarkan (listing) di salah satu bursa efek yang ada. Manipula si ini terutama akan lebih mudah dilakukan di bursa-bursa di mana jumlah investor relatif sedikit. Karena dengan demikian antara satu investor dengan investor lainnyadapat saling berhubungan untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang maksudnya untuk memanipulasi pasar. Selain itu manipulasi pasar ini dapat juga dilakukan dengan transaksi tanpa adanya saham atau tanpa adanya pengalihan hak atas saham.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai jenis kejahatan ini berikut ini diberikan ilustrasi tentang modus-modus yang digunakan oleh pialang di bursa untuk melakukan manipulasi pasar ini.

a. Transaksi Semu

Sebagaimana jual beli lainnya dimanapun maka jual beli di bursa merupakan suatu jual beli dalam arti yang sebenarnya yaitu jual beli yang harus dilakukan dengan adanya arus barang (dari penjual). Apabila salah satu dari kedua unsur ini tidak ada (terutama tidak ada barang) maka jual beli (transaksi) tersebut dapat dikwalifikasikan sebagai suatu transaksi semu (wash sales) yaitu transaksi yang tidak diikuti oleh adanya perubahan Pemilik Penerima Manfaat (beneficial owner). Transaksi semu ini kadang-kadang juga dilakukan untuk menstabilkan harga suatu saham aatau juga dengan maksud untukn mendapatkan (mengisi) porsi asing. Tindakan yang terakhir ini (untuk mengisi porsi asing) misalnya dilakukan atas saham-saham yang memang sangat digemari oleh investor asing. Saham-saham "laris" ini biasanya sudah habis terbeli dalam catatan bursa tetapi karena saham-saham pendiri masih akan diperdagangkan maka sebenarnya masih ada sejumlah saham baik dari pendiri maupun pemnegang saham lokal yang masih dapat dibeli.

Tujuan dari transaksi ini adalah sederhana saja yaitu memberikan gambaran bahwa saham tersebut memang likuid atau untuk mendapatkan nota transaksi yang berstatus asing sehingga ketika saham-saham pendiri telah boleh dijual (8 bulan kemudian) pialang ini dapat menggunakan nota transaksi hasil transaksi semu dengan status asing tersebut untuk mengklaim saham lokal yang kemudian dibelinya sebagai saham asing. Cara -cara seperti ini dipergunakan karena saham-saham asing ini memang mempunyai perbedaan harga (spread) yang cukup tinggi.

b. Pembentukan Harga

Cara ini biasanya dilakukan dengan maksud untuk melakukan suatu transaksi pada harga tertentu. Transaksi seperti ini dapat dilakukan baik dengan menaikan atau menurunkan harga sehingga tujuan pembentukan harga ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya seorang nasabah (pemodal) menyuruh dua broker untuk melakukan transaksi pada suatu harga tertentu. Cara lain adalah seorang pemodal menyuruh temannya untuk melakukan order jual atau beli pada satu broker sedangkan dia sendiri melakukan order jual atau beli pada broker lainnya dengan harga yang telah dibentuk tersebut.

Pembentukan harga ini biasa dilakukan pada transaksi di papan reguler dan dimaksudkan baik untuk mempertahankan, menurunkn atau menaikan harga. Pembentukan harga pada transaksi tutup sendiri (di papan crossing) kadang-kadang juga dilakukan karena harga yang diminta oleh nasabah dan yang terjadi di reguler berbeda agak jauh. Padahal sesuai dengan Peraturan yang berlaku di Bursa Efek Jakarta, misalnya, transaksi yang dilakukan di papan tutup sendiri haruslah berpedoman pada harga di papan reguler. Ini karena pada waktu itu harga di papan reguler tidak sesuai dengan permintaan nasabah (misalnya, terlalu tinggi atau terlalu rendah). Untuk itu pialang yang akan melakukan transaksi ini akan melakukan pembentukan harga (melalui transaksi di papan reguler) sehingga transaksi yang akan dilakukan di papan "tutup sendiri" memenuhi harga yang dikehendaki oleh nasabah. Dengan berlakunya ketentuan baru tentang perdagangan efek di Bursa Efek Jakarta (Keputusan Direksi PT Bursa Eefek Jakarta No. 05/BEJ/XII/1993) ketentuan bahwa harga pada transaksi crossing harus berpedoman pada harga reguler.

3. Insider Trading

Informasi adalah komoditi yang sangat penting dalam suatu bursa efek. Oleh karena itu informasi mengenai suatu berita yang terjadi atas suatu emiten yang sahamnya diperdagangkan di bursa tidak boleh diketahui oleh satu pihak secara eksklusif. Begitu pentingnya informasi ini, umpamanya, dapat dilihat dari berfluktuasinya harga saham di bursa ketika terjadi suatu peristiwa atas perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa.

Insider trading adalah Perdagangan efek dengan mempergunakan Informasi Orang Dalam (IOD). IOD adalah informasi material yang dimiliki orang dalam yang belum tersedia untuk umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1995, tidak memberikan batasan insider trading secara tegas. Transaksi yang dilarang antara lain yaitu orang dalam dari emiten yang mempunyai informasi orang dalam melakukan transaksi penjualan atau pembelian atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan. Dengan demikian pokok permasalahan insider trading adalah ”informasi”. Orang dalam atau dikenal dengan “insider” adalah manajer, pegawai atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkannya mempunyai IOD, termasuk pihak yang dalam 6 bulan terakhir tidak lagi menjadi orang-orang tersebut. Sementara pihak lain yang dilarang melakukan insider trading adalah mereka yang memperoleh IOD secara melawan hukum, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, bahwa pihak yang berusaha untuk memperoleh IOD dari orang dalam secara melawan hukum dan kemudian memperolehnya dikenakan larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang yang sebagaimana dimaksud Pasal 95 dan Pasal 96. Demikian juga perusahaan efek yang memiliki IOD, pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan juga dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau pihak lain kecuali diperintahkan oleh UU lainnya (Pasal 98 ayat (4)).

Kemungkinan terjadinya perdagangan dengan menggunakan informasi orang dalam dapat dideteksi dari ada atau tidaknya orang dalam yang melakukan transaksi atas efek perusahaan dimana yang bersangkutan menjadi orang dalam. Selain itu dapat pula dideteksi dari adanya peningkatan harga dan volume perdagangan efek sebelum diumumkanya informasi material kepada publik terkait dengan terjadinya peningkatan atau penurunan perdagangan yang tidak wajar. Perdagangan orang dalam memiliki beberapa unsur, antara lain:

a. Adanya perdagangan efek;

b. Dilakukan oleh orang dalam perusahaan;

c. Adanya inside information;

d. Informasi itu belum diungkap dan dibuka untuk umum;

e. Perdagangan dimotivasi oleh informasi itu;

f. Bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Kasus perdagangan orang dalam diidentikkan dengan kasus pencurian, bedanya bila pada pencurian konvensional yang menjadi obyek adalah materi milik orang lain, maka pada perdagangan orang dalam obyek pencurian tetap milik orang lain tapi dengan menggunakan informasi yang seharusnya milik umum, sehingga pelaku memperoleh keuntungan dari tindakannya. Pada pencurian konvensional yang menderita kerugian adalah pihak pemilik barang, sedangkan pada kasus perdagangan orang dalam, yang menderita kerugian begitu banyak dan luas, mulai dari lawan transaksi hingga kepada pudarnya kewibawaan regulator dan kredibilitas pasar modal. Kalau kredibilitas pudar, maka kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal juga akan pudar.

Dilarangnya perdagangan oleh orang dalam ini sangat berkaitan dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang 'keterbukaan informasi' yang harus diumumkan kepada publik, sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-22/PM/1991. Keputusan Ketua Bapepam ini mewajibkan setiap perusahaan publik untuk menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja kedua setelah Keputusan atau terjadinya suatu peristiwa, keterangan penting dan relevan yang mungkin dapat mempergunakan nilai efek perusahaan atau keputusan investasi nilai efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal. Dalam pada itu perlu juga ditekankan di sini bahwa perdagangan oleh orang dalam ini tidak saja mengakibatkan terjadinya suatu tindak pidana tetapi juga merupakan suatu perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal1365 KUH Perdata. Hal ini karena perdagangan oleh orang dalam itu dapat merugikan investor lain dan karenanya investor yang dirugikan berhak mendapatkan penggantian apabila dapat membuktikannya. Oleh karena itu menurut ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata maka "tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".



2.2 Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pasar Modal Di Indonesia

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995, separti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal. Dari kasus-kasus pelanggaran perundang-undangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan di Bapepam. Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23, Pasal 105, dan Pasal 109. Pelanggaran pasar modal yang dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) adalah pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu: seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi tanpa mendapatkan izin Bapepam. Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pelanggaran pasar modal yang dimaksud dalam Pasal 105 adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu : menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana. Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pelanggaran yang dimaksud dalam Pasal 109 adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran Undang-Undang Penanaman Modal.

Dianutnya pembagian delik atas dua macam yaitu delik kejahatan pasar modal, dan delik pelanggaran pasar modal, menunjukkan bahwa Undang-Undang Penanaman Modal mengikuti ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang merupakan hukum (ketentuan yang umum, di satu sisi, tetapi dalam ketentuan mengenai sanksinya jauh berbeda. Di dalam KUHP untuk delik pelanggaran tidaklah diancam dengan pidana kumulasi seperti dalam Undang-Undang Penanaman Modal ini, tetapi hanya hukuman kurungan paling lama satu tahun, sedangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal juga satu tahun kurungan tetapi dikumulasikan dengan denda yang besar (1 milyar).

Hal ini tentu saja rasional, juga bila dilihat dari asas perundang-undangan yang baik selalu memperhatikan antara korban dan sanksi yang seimbang. Walaupun selama ini dikenakan sanksi administrasi kepada pelaku tindak pidana pasar modal, tetapi seperti pada tindak pidana pasar modal, alasan yang sama telah dikemukakan di atas menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi tersebut.

Melihat penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Bapepam, Bapepam lebih cenderung menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan jalur di luar pengadilan (non penal), akan tetapi apabila pihak pelanggar tidak dapat menyelesaikan sanksi administratif yang telah dijatuhkan, maka pihak Bapepam akan menyelesaikan kasus tersebut ke pengadilan (penyelesaian secara penal). Dapat dikatakan disini bahwa, pihak Bapepam beranggapan bahwa hukum pidana tersebut sebagai senjata pamungkas (Ultimum Remedium) di dalam penyelesaian kasus pelanggaran perundang-undangan di pasar modal.

Kejahatan dan pelanggaran di pasar modal berupa penipuan, manipulasi pasar dan Insider Trading. Bapepam adalah lembaga regulator dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas:

a. Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum

b. Biro Pemeriksaan dan Penyidikan

c. Biro Pengelolaan dan Riset

d. Biro Transaksi dan Lembaga Efek

e. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa

f. Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.

g. Biro Standar dan Keterbukaan.



Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam. Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut. Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam. Permasalahan akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.

Demikian pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya pelanggaran yang bersifat pidana, lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.

Kewenangan melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf (b). yang menyebutkan: “Penyidik adalah aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995. Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila:

a. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal;

b. Bila tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan;

c. Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal



Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut Undang-Undang Penanaman Modal bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pelaku ekonomi di pasar modal. Dalam melaksanakan berbagai tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.

Dengan berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal. Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.

Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet. Presss Release yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru dari Bapepam. Selain itu pula, kebijakan untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan (tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.



2.3 Peran Bapepam Dalam Memberantas Kejahatan Pasar Modal Di Indonesia

Salah satu kewenangan yang diberikan kepada Bapepam oleh UU Pasar Modal adalah mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Pasar Modal dan atau peraturan pelaksanaannya. Wewenang Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 100 dan pasal 101 UU Pasar Modal. Bahkan, berdasarkan pasal 102 UU Pasar Modal, Bapepam diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Dari kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, dapatlah kita katakan bahwa Bapepam adalah polisi khusus bagi pasar modal.

Kewenangan yang dimiliki oleh Bapepam, cukup untuk menjadikannya sebagai lembaga yang efektif untuk memberantas kejahatan-kejahatan yang terjadi di pasar modal. Terhadap beberapa kasus, Bapepam berhasil membuktikan pelanggaran pihak-pihak tertentu terhadap UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta menjatuhkan sanksi administratif bagi pihak-pihak tersebut.

Adapun pengenaan sanksi administratif berupa denda telah dikenakan kepada 186 (seratus delapan puluh enam) Emiten, 31 (tiga puluh satu) Perusahaan Efek, 2 (dua) Biro Administrasi Efek, 1 (satu) Bank Kustodian, 1 (satu) Wali Amanat, 8 (delapan) Wakil Perusahaan Efek, 1 (satu) Akuntan Publik, 1 (satu) Penilai dan 15 (lima belas) Pihak lain termasuk direksi dan komisaris Emiten dengan total denda sebesar Rp. 20.576.400.000,- (dua puluh miliar lima ratus tujuh puluh enam juta empat ratus ribu rupiah).

Disamping pengenaan sanksi administratif berupa denda, Bapepam juga telah mengenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kepada 4 (empat) Emiten, 22 (dua puluh dua) Perusahaan Efek, 8 (delapan) Wakil Perusahaan Efek, dan 1 (satu) Akuntan Publik serta 1 (satu) Konsultan Hukum. Serta pembekuan kegiatan usaha kepada 29 (dua puluh sembilan) Perusahaan Efek, 4 (empat) Wakil Perusahaan Efek dan 4 (empat) Akuntan Publik. Bapepam juga telah mengenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha kepada 8 (delapan) Perusahaan Efek dan 2 (dua) Wakil Perusahaan Efek. Bersama ini diumumkan bahwa Bapepam telah melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang sifatnya kasuistis.






BAB III

SIMPULAN



Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran dan tindakan pidana pasar modal berserta sanksi bagi pelakunya. Perbuatan yang dilarang tersebut meliputi pemalsuan dan penipuan, manipulasi pasar dan insider traiding.

Penegakan hukum menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995, seperti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal. Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam.

Salah satu kewenangan yang diberikan kepada Bapepam oleh UU Pasar Modal adalah mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Pasar Modal dan atau peraturan pelaksanaannya serta pemberian sanksi berupa sanksi administratif.







DAFTAR PUSTAKA



BUKU :

Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya, 2004, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia,

Prenada Media, Jakarta.

Munir Fuady, 2004, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Munir Fuady, 2012, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Pandji, Anuraga, dan Piji Pakarti, 2001, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi,

Rineka Cipta, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.



TULISAN ILMIAH :

Butje Tampi, , 2010, Karya Ilmiah (Bentuk-Bentuk Kejahatan Di Bursa Efek Serta Peran Bapepam), Kementrian Pendidikan Nasional Universitas Sam Ratulangi, Manado.

PPH Newsletter, 1998, Kajian Hukum Ekonomi Dan Bisnis, Majalah No. 34/IX September 1998, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta.

Varia Peradilan Tahun VIII No. 29, Mei 1993, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 1993.



WEBSITE :



http://draakuskus.wordpress.com/2013/02/04/bisnis-hitam-di-bursa-efek-anatomi-kejahatan-pasar-modal/

http://iyan88simple.blogspot.com/2012/10/penegakan-hukum-terhadap-tindak-pidana.html

http://joykoselalutersenyum.blogspot.com/2011/01/makalah-tindakan-manipulasi-pasar.html

http://saifuddinumar.blogspot.com/2012/04/makalah-tentang-kejahatan-di-pasar.html

INSIDER TRADING


BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai cita – cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ditempuh dengan menyelenggarakan proses pembangunan nasional yang berkesinambungan. Proses pembangunan nasional tersebut meliputi berbagai macam aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan di sektor ekonomi, memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Proses pembangunan perekonomian Indonesia telah mencapai tahap yang demikian maju, seiring dengan perkembangan dunia internasional secara global. Laju pertumbuhan ilmu dan teknologi, serta iklim perekonomian internasional, telah membawa pembangunan perekonomian Indonesia dalam era yang baru. Salah satu dampak dari pembangunan perekonomian tersebut adalah semakin majunya perdagangan di dunia internasional, yang ditandai dengan meningkatnya investasi, perkembangan globalisasi ekonomi, dan berkembangnya perdagangan bebas.

Pasar modal sebagai salah satu struktur ekonomi, memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian Indonesia, sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat, dalam menghadapi pesatnya perkembangan perekonomian dunia tersebut. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan pofefesi yang bekaitan dengan efek.

Pasar modal di Negara maju merupakan salah satu lembaga yang diperhitungkan bagi perkembangan ekonomi Negara tersebut. Oleh sebab itu, negara/pemerintah mempunyai alasan untuk ikut mengatur jalannya dinamika pasar modal. Pasar modal Indonesia sebagai salah satu lembaga yang memobilisasi dana masyarakat dengan menyediakan sarana atau tempat untuk mempertemukan penjual dan pembeli dana jangka panjang yang disebut efek, dewasa ini telah merupakan salah satu pasar modal Negara berkembang secara fantastis atau dinamik.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 yaitu Undang-Undang Pasar Modal merupakan salah satu bukti bahwa Pasar Modal memang patut diberikan perhatian yang sangat serius guna mengatur operasional lembaga ini dengan baik dan terpola. Namun bukan berarti dengan eksistensi dari Undang-Undang ini segala permasalahan yang berkaitan dengan Pasar Modal akan dapat diatasi dengan hanya mengacu pada peraturan ini. Masih banyaknya bentuk penyimpangan dan pelanggaran dalam Pasar Modal yang kurang terjangkau secara maksimal.

Dalam penyelenggaraannya, pasar modal tidak dapat terlepas dari berbagai macam pelanggaran berupa terjadinya tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang mengatur, terjadinya tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, yang pada akhirnya merupakan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan publik serta merugikan dan menghambat keberlangsungan proses pembangunan perekonomian bangsa. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pasar modal dapat berupa pelanggaran secara administratif maupun pelanggaran-pelanggaran yang berupa suatu kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana di bidang pasar modal. Salah satu tindak pidana dibidang pasar modal sebagai mana diatur di dalam Undang-Undang No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal adalah apa yang dikenal dengan nama Insider Trading. Dalam tulisan ini kami mencoba untuk membahas hal-hal yang berkait dengan Insider Trading tersebut, dengan maksud untuk lebih memahami hal-hal yang terkait dengan terjadinya Insider Trading sebagai salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana di bidang pasar modal.



1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan insider trading ?

2. Apa sanksi bagi kejahatan insider trading ?



1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari insider trading.

2. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi pelaku insider trading.






BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Insider Trading

Informasi adalah komoditi yang sangat penting dalam suatu bursa efek. Oleh karena itu informasi mengenai suatu berita yang terjadi atas suatu emiten yang sahamnya diperdagangkan di bursa tidak boleh diketahui oleh satu pihak secara eksklusif. Begitu pentingnya informasi ini, umpamanya, dapat dilihat dari berfluktuasinya harga saham di bursa ketika terjadi suatu peristiwa atas perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa.

Terdapat beberapa pengertian atau definisi yang berusaha menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Insider Trading atau Perdagangan Oleh Orang Dalam diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Insider trading adalah perdagangan efek yang dilakukan oleh mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana didasarkan atau dimotivasi oleh adanya suatu “informasi orang dalam”.

2. Insider Trading adalah Transaksi kontrak berjangka dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai akses terhadap informasi pihak lain, baik karena jabatan atau karena terlibat dalam penyidikan suatu kasus. Pihak tertentu memanfaatkan informasi tersebut untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri atau pihak lain yang terafiliasi atau dia mempunyai kepentingan. Termasuk orang dalam adalah pegawai Bursa, pegawai Lembaga Kliring Berjangka dan pegawai Bappebti dan lain-lain yang mendapat informasi dimaksud.

3. According to Black’s Law Dictionary (6th edition), insider trading “refers to transactions in shares of publicly held corporations by persons with inside or advance information on which the trading is based. Usually the trader himself is an insider with an employment or other relation of trust and confidence with the corporation.”

4. Insider Trading adalah perdangan saham yang dilakukan dengan menggunakan informasi dari orang dalam, dapat dilakukan oleh orang dalam (insider) atau pihak yang menerima, mendapatkan serta mendengar informasi tersebut.

Insider trading adalah Perdagangan efek dengan mempergunakan Informasi Orang Dalam (IOD). IOD adalah informasi material yang dimiliki orang dalam yang belum tersedia untuk umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1995, tidak memberikan batasan insider trading secara tegas. Transaksi yang dilarang antara lain yaitu orang dalam dari emiten yang mempunyai informasi orang dalam melakukan transaksi penjualan atau pembelian atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan. Dengan demikian pokok permasalahan insider trading adalah ”informasi”. Orang dalam atau dikenal dengan “insider” adalah manajer, pegawai atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan publik memungkinkannya mempunyai IOD, termasuk pihak yang dalam 6 bulan terakhir tidak lagi menjadi orang-orang tersebut. Sementara pihak lain yang dilarang melakukan insider trading adalah mereka yang memperoleh IOD secara melawan hukum, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, bahwa pihak yang berusaha untuk memperoleh IOD dari orang dalam secara melawan hukum dan kemudian memperolehnya dikenakan larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang yang sebagaimana dimaksud Pasal 95 dan Pasal 96. Demikian juga perusahaan efek yang memiliki IOD, pegawai Bapepam yang diberi tugas atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan juga dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau pihak lain kecuali diperintahkan oleh UU lainnya (Pasal 98 ayat (4)).

Kemungkinan terjadinya perdagangan dengan menggunakan informasi orang dalam dapat dideteksi dari ada atau tidaknya orang dalam yang melakukan transaksi atas efek perusahaan dimana yang bersangkutan menjadi orang dalam. Selain itu dapat pula dideteksi dari adanya peningkatan harga dan volume perdagangan efek sebelum diumumkanya informasi material kepada publik terkait dengan terjadinya peningkatan atau penurunan perdagangan yang tidak wajar. Perdagangan orang dalam memiliki beberapa unsur, antara lain:

a. Adanya perdagangan efek;

b. Dilakukan oleh orang dalam perusahaan;

c. Adanya inside information;

d. Informasi itu belum diungkap dan dibuka untuk umum;

e. Perdagangan dimotivasi oleh informasi itu;

f. Bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Kasus perdagangan orang dalam diidentikkan dengan kasus pencurian, bedanya bila pada pencurian konvensional yang menjadi obyek adalah materi milik orang lain, maka pada perdagangan orang dalam obyek pencurian tetap milik orang lain tapi dengan menggunakan informasi yang seharusnya milik umum, sehingga pelaku memperoleh keuntungan dari tindakannya. Pada pencurian konvensional yang menderita kerugian adalah pihak pemilik barang, sedangkan pada kasus perdagangan orang dalam, yang menderita kerugian begitu banyak dan luas, mulai dari lawan transaksi hingga kepada pudarnya kewibawaan regulator dan kredibilitas pasar modal. Kalau kredibilitas pudar, maka kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal juga akan pudar.

Alasan mengapa perdagangan orang dalam dilarang adalah sebagai berikut:

1) Larangan bagi orang dalam untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan didasarkan atas pertimbangan bahwa kedudukan orang dalam seharusnya mendahulukan kepentingan Emiten, Perusahaan Publik, atau pemegang saham secara keseluruhan termasuk di dalamnya untuk tidak menggunakan informasi orang dalam untuk kepentingan diri sendiri atau Pihak lain.

2) Orang dalam dari suatu Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain juga dikenakan larangan untuk melakukan transaksi atas Efek dari perusahaan lain tersebut, meskipun yang bersangkutan bukan orang dalam dari perusahaan lain tersebut. Hal ini karena informasi mengenai perusahaan lain tersebut lazimnya diperoleh karena kedudukannya pada Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan transaksi dengan perusahaan lain tersebut. Yang dimaksud dengan “transaksi” disini adalah semua bentuk transaksi yang terjadi antara Emiten atau Perusahaan Publik dan perusahaan lain, termasuk transaksi atas Efek perusahaan.

Berdasarkan praktiknya sulit untuk dibuktikkan insider trading karena pembuktiannya memerlukan standar pembuktian yang tinggi dan tidak mudah membuktikan ada atau tidaknya insiders itu melakukan insider trading. Banyak contoh kasus pembuktian pelaku insider trading dibebaskan oleh pengadilan karena pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan pelaku. Pembuktian praktik insider trading dapat dilakukan melalui investigasi para pihak yang dideteksi telah melakukan praktik tersebut dan juga dari pemeriksaan dokumen-dokumen tertulis, termasuk di dalamnya lembaran transaksi elektronik. Dalam dalam Pasal 95 sampai Pasal 99 dan Pasal 104 UUPM diatur larangan perdagangan orang dalam. Aturan ini melarang insiders perusahaan berbadan hukum yang memiliki informasi orang dalam untuk membeli atau menjual saham perusahaan atau perusahaan lain yang bertransaksi dengan perusahaan tersebut. Orang dalam juga dilarang mempengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli saham tersebut. Orang dalam dilarang membocorkan informasi kepada pihak lain yang untuk menggunakannya untuk jual-beli saham tersebut.

Untuk pembuktian, insider trading tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa menggunakan pendekatan dan metode ekonomi keuangan. Pembuktian terjadinya insider trading melalui pendekatan dan metode ekonomi keuangan menjadi dasar yang kuat menjerat pelaku-pelaku berdasarkan pasal-pasal insider trading dalam UUPM. Tanpa itu tindak pidana insider trading hanya akan terus terjadi dan hukum hanya ada dalam buku (law in the book), tanpa mampu melakukan penegakan hukum dan menjerat pelakunya.

Ada beberapa hal yang tidak tergolong ke dalam perdagangan orang dalam berdasarkan pasal 97 dan 98 UUPM yaitu,

1) Apabila setiap pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang dalam dan kemudian memperolehnya tanpa melawan hukum, sepanjang informasi tersebut disediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik tanpa pembatasan.

2) Perusahaan Efek yang memiliki informasi orang dalam mengenai Emiten atau Perusahaan Publik melakukan transaksi Efek Emiten atau Perusahaan Publik bukan atas tanggungannya sendiri, tetapi atas perintah nasabahnya.

3) Perusahaan Efek tersebut tidak memberikan rekomendasi kepada nasabahnya mengenaiEfek yang bersangkutan.



2.2 Sanksi Hukum Terhadap Insider Trading

Insider trading ini berbeda dengan kejahatan pasar modal lain yang umumnya adalah menyangkut perbuatan-perbuatan yang secara umum memang dilarang, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan pemberian informasi yang palsu, menyesatkan, tidak benar atau perbuatan yang berupa penipuan dan penggelapan, atau penyiaran informasi palsu atau menyesatkan tentang efek perusahaan emiten. Untuk dapat dikategorikan ke dalam perbuatan insider trading maka harus terdapatunsur-unsur sebagai berikut:

1. Pelaku harus menyadari adanya suatu informasi tertentu;

2. Informasi tersebut tidak tersedia untuk publik;

3. Investor yang rasional mengharapkan jika informasi dirilis ke publik, akan membawa dampak material terhadap harga atau nilai efek suatu perusahaan tersebut; dan

4. Pelaku harus mengetahui, atau patut diduga mengetahui, bahwa informasi tersebut bersifat material dan tidak tersedia untuk publik (informasi non-publik). Jika semua unsur-unsur tersebut dipenuhi maka seseorang yang memiliki informasi tersebut tidak dibolehkan melakukan perdagangan efek perusahaan sebelum informasi itu disampaikan kepada publik. Hal ini sesuai dengan ketentuan “disclosure or abstain from trading” yang disebutkan di atas. Selain dilarang melakukan perdagangan ia juga tidak diperbolehkan untuk menyuruh orang lain melakukan perdagangan atau memberikan informasi tersebut kepada orang lain yang patut diduganya akan melakukan perdagangan.

Di Amerika Serikat peraturan tentang pengungkapan ini terdapat pada Rule 10b-5dari the Securities and Exchange Act of 1934.Perusahaan Indonesia juga perlu memperhatikan peraturan ini apabila saham perusahaan tersebut terdaftar di US-SEC dan tercatat di bursa NYSE atau diperdagangkan overthe counter di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia peraturan ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan orang dalam (Insider) terdapat dalam pasal 95 adalah hukuman pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda setinggi-tingginya 15 milyar rupiah (pasal 104).Sanksi hukum bagi orang dalam (Insider) di Pasar Modal Indonesia khususnya merupakan sanksi hukum administratif Untuk pelanggaran Rule 10b-5sanksinya adalah ganti rugi atas kerugian yang diderita investor yang melakukan perdagangan saham perusahaan dengan dasar kepercayaan atas pernyataan atau informasi yang didiscloseoleh perusahaan.

Dilarangnya perdagangan oleh orang dalam ini sangat berkaitan dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang 'keterbukaan informasi' yang harus diumumkan kepada publik, sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-22/PM/1991. Keputusan Ketua Bapepam ini mewajibkan setiap perusahaan publik untuk menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja kedua setelah Keputusan atau terjadinya suatu peristiwa, keterangan penting dan relevan yang mungkin dapat mempergunakan nilai efek perusahaan atau keputusan investasi nilai efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal. Dalam pada itu perlu juga ditekankan di sini bahwa perdagangan oleh orang dalam ini tidak saja mengakibatkan terjadinya suatu tindak pidana tetapi juga merupakan suatu perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal1365 KUH Perdata. Hal ini karena perdagangan oleh orang dalam itu dapat merugikan investor lain dan karenanya investor yang dirugikan berhak mendapatkan penggantian apabila dapat membuktikannya. Oleh karena itu menurut ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata maka "tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".

Terkait dengan diaturnya Insider Trading atau perdagangan orang dalam sebagai suatu tindak pidana, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya proses penyidikan atas tindak pidana yang terjadi. Dalam Undang – Undang No 8 tahun 1995, proses penyidikan terhadap tindak pidana yang di bidang pasar modal, termasuk tindak pidana Insider Trading atau perdagangan oleh orang dalam, diatur dalam bab XIII.
Berdasarkan pasal 101 ayat (2), maka proses penyidikan terhadap pelanggaran termasuk terhadap tindak pidana pasar modal dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pengawasan Penanaman Modal (BAPEPAM). Dimana disebutkan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana tersebut, Bapepam dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. (pasal 101 ayat 6).

Dalam pelaksanaannya, ternyata proses penyidikan terhadap tindak pidana Insider Trading atau perdagangan oleh orang dalam ini sangat sulit dilaksanakan, terlebih dalam proses pembuktiannya. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) belum pernah bisa membuktikan adanya ‘insider trading’ atas sebuah kasus yang dilaporkan pihak-pihak lain berkaitan dengan dugaan insider trading (perdagangan orang dalam). Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam, Abraham Bastari, menjelaskan kasus terakhir yang oleh sementara kalangan disebutkan sebagai kasus insider trading dalam perdagangan saham PT Indosat ternyata pada akhirnya tidak terbukti sebagaimana disinyalir oleh banyak pihak.

Perkembangan ilmu dan teknologi juga tak dapat dipisahkan dari berkembangnya Insider Trading. Pengaruh ilmu dan teknologi sangat besar dirasakan dalam dunia pasar modal. Ilmu dan teknologi dapt mempermudah terjadinya Insider Trading dan memperbesar kemungkinan mengubah cara dan prespektif orang dalam melakukan suatu tindakan tertentu. Misalnya dengan pemanfaatan internet, teknologi komunikasi (handphone dan segala fasilitasnya) akan sanagt memberi peluang bagi mengalirnya informasi dari orang dalam yang digunakan untuk melakukan suatu transaksi pasar modal yang melanggar ketentuan. Di sisi lain, kecanggihan ilmu dan teknologi tersebut menjadi kendala terbesar bagi keberhasilan pembuktian adanya Insider Trading dalam proses penyidikan tindak pidana pasar modal.

Namun demikian, hendaklah hal ini tidak dipandang sebagai suatu hambatan atau kendala yang tak terpecahkan,. Sebaiknya justru dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dapat diatasi secara bersama dan komprehensif, antara pihak – pihak yang terkait, baik para pelaku pasar modal, pihak pengawas (BAPEPAM dan BAPPEBTI) serta pihak Kepolisian. Perlu adanya langkah nyata dan segera, misalnya adanya kepastian dan batasan atau landasan yang jelas dan pasti tentang karakteristik pemanfaatan ilmu dan teknologi dalam penyelenggaraan transaksi pasar modal, dan kerangka penyidikan tindak pidana pasar modal yang tegas, jelas dan efektif guna mengatasi semakin marak dan berkembangnya Insider Trading sebagai salah satu tindak pidana di bidang pasar modal.





BAB III

KESIMPULAN



Insider trading adalah perdagangan efek yang dilakukan oleh mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana didasarkan atau dimotivasi oleh adanya suatu “informasi orang dalam. Transaksi yang dilarang antara lain yaitu orang dalam dari emiten yang mempunyai informasi orang dalam melakukan transaksi penjualan atau pembelian atas efek emiten atau perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan orang dalam (Insider) terdapat dalam pasal 95 adalah hukuman pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda setinggi-tingginya 15 milyar rupiah (pasal 104).Sanksi hukum bagi orang dalam (Insider) di Pasar Modal Indonesia khususnya merupakan sanksi hukum administratif Untuk pelanggaran Rule 10b-5sanksinya adalah ganti rugi atas kerugian yang diderita investor yang melakukan perdagangan saham perusahaan dengan dasar kepercayaan atas pernyataan atau informasi yang didiscloseoleh perusahaan.





DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Asril Sitompul, 1995 ,Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Syahrir dalam Najib A. Gisymar, 1998 ,Insider Trading dalam Transaksi Efek, Citra

Aditya Bakti, Bandung

M Fakhruddin, M Sopian Hadianto, 2001, Perangkat dan Modal Analisis Investasi di

Pasar Modal, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

JURNAL :

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi , Situs http//www.bappebti.go.id.

Indonesian Business online Vol. IV No.8, August 2002 Situs http//www.harvest_international .com

Butje Tampi, Butje Tampi, Karya Ilmiah (Bentuk-Bentuk Kejahatan Di Bursa Efek Serta Peran Bapepam), Kementrian Pendidikan Nasional Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2010, hlm. 19.

Diktat Kuliah Kapita Selekta Tindak Pidana Tertentu, PTIK Angkatan 44, 2005.

WEBSITE :

Edi Tor Siojo, 2008, Insider Trading Kejahatan di Pasar Modal, http://editorsiojo85.wordpress.com.

http://bisdan-sigalingging.blogspot.com/2011/12/analisis-terhadap-beberapa-praktik.html

http://fitrianalestari.blogspot.com/2011/10/kejahatan-pelanggaran-di-bidang-pasar.html

http://iyan88simple.blogspot.com/2012/10/penegakan-hukum-terhadap-tindak-pidana.html

http://jurnalsrigunting.com/2012/12/22/insider-trading-suatu-tindak-pidana-di-bidang-pasar-modal/

http://saifuddinumar.blogspot.com/2012/04/makalah-tentang-kejahatan-di-pasar.html

http//www.era muslim.com.

http//www.pelita.or.id

Reno Rahmat Hajar, Transaksi Berdasarkan Pelaksanaan Keterbukaan Informasi, dalam situs http//www.lkht.net.



PERJANJIAN BAKU


BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh ketentuan tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Selama perkembangannya hampir setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku ( standard contract), dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.

Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 telah menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian .

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.

Secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan.

Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan stabilitas negara sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha saat ini menimbulkan akibat meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan terlebih dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur syarat-syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif. Hal ini karena pengusaha berada pada posisi lebih superior daripada konsumen ataupun perjanjian standar ini sering digunakan antara golongan ekonomi kuat dengan ekonomi lemah.

Adanya syarat-syarat (klausula) sepihak tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun pihak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian standar diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.

Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.



1.2 Rumusan Masalah

1. Faktor-Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian baku ?

2. Bagaimana asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku ?






BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Faktor-Faktor Yang Menjadi Pendorong Berkembangnya Perjanjian Baku

Perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar, merupakan suatu perjanjian yang didalamnya terdapat beberapa hal yang dibakukan yang meliputi model, rumusan, dan ukuran. Menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersbut, sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klusul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku.

Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dengan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi diantara mereka. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis terjadibukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak. Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah ada, kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian ini disebut juga perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian adhesi.

Perkembangan kebutuhan dalam masyarakat akan sesuatu yang instan dan cepat mensyaratkan proses yang cepat pula. Dalam hal melakukan perjanjian sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat juga semakin ingin proses yang cepat. Hal inilah yang turut memacu berkembanganya perjanjian standar. Perjanjian Standar ini bagai dua sisi koin mata uang. Disatu sisi, dengan adanya perjanjian standar mempercepat proses karena format baku perjanjian tertulis tersebut sudah ada, namun, disisi lain, kadang karena orang ingin sesuatu dengan cepat, dia menjadi tidak berhati-hati dalam menandatangani perjanjian standar tersebut.

Perjanjian standar atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah standard contract, adhesion contract, atau boilerplate contract; sebenarnya sudah ada sejak dulu. E.H. Hondius dalam Comendium Hukum Belanda mengungkapan bahwa:

”Meskipun demikian yang disebut model-model kontrak telah mempunyai sejarah ribuan tahun. Ketika lima ribu tahun yang lalu di Mesir dan negara dua sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama. sesudah itu di banyak peradaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rokhaniawan”

Hondius juga menyatakan bahwa kebutuhan akan syarat-syarat baku kontrak di Eropa Barat terutama dalam abad kesembilan belas menjadi besar. Kongsi-kongsi dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka, ditiadakan. Revolusi Industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang naik besar, menjadikan pemakaian formulir-formulir baku diperlukan, karena pembuatan transaksi-transaksi penting, sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam abad ke 20, pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas.

Pitlo menyatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial ekonomi, dimana perusahaan besar, seperti perusahaan yang dimiliki oleh negara dalam mengadakan kerja sama, telah menentukan syarat-syarat sepihak untuk kepentingan mereka. Dapat dilihat bahwa sebenarnya orang-orang sudah menyadari kebutuhan akan perjanjian standar. Banyak negara yang juga telah menyadari pentingnya peraturan mengenai perjanjian standar ini. Konsep perjanjian standar ini sebenarnya berasal dari hukum perdata Perancis, hingga pada akhirnya ”Harvard Law Review” menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Edwin W. Patterson pada tahun 1919. Yang kemudian inti dari artikel tersebut banyak diadopsi oleh Pengadilan di Amerika, terutama setelah Supreme Court of California mendukung analisis terkait Perjanjian Standar pada tahun 1962. Dalam Bab 3, ”Unfair Contract Terms Act 1977”, Inggris membatasi penyusun kontrak perjanjian standar untuk menuliskan klausula yang membolehkan pihak untuk bertindak baik sebagian maupun sepenuhnya berbeda dari apa yang bisa diperkirakan dengan akal. Standard Form Contract Act 1982 di Israel, mensyaratkan beberapa kondisi dalam kontrak yang bisa dibatalkan oleh pengadilan; diantaranya yaitu pengecualian dan pembatasan tanggung jawab yang tidak masuk akal, pemberian hak istimewa yang tidak masuk akal, transfer atau pengalihan tanggung jawab. Dalam Article 6.185. Standard Conditions of Contracts, Lithuanian Civil Code I, dinyatakan bahwa syarat-syarat standar yang disiapkan oleh salah satu pihak, harus mengikat pihak pihak lain, asal ada cukup waktu untuk mengetahui syarat-syarat tersebut, atau dapat dikatakan bahwa pihak lain itu mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standar tersebut.

Seiring perkembangan kebutuhan masyarakat, ciri-ciri perjanjian standar berkembang mengikuti kebutuhan dan tuntutan tersebut. Yang sangat menonjol ciri-ciri ini mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pengusaha. Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.

Secara lebih rinci perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Berikut penjelasan dari kelima ciri tersebut :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat :

Dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tangani perjanjian tersebut.

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian:

Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:

a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani

c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.


3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu :

Sebagi pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah maka konsumen tidak dapat mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka di tanda tangani perjanjian itu. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah dan walaupun pihak konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ”take it or leave it”.

4. Bentuk tertulis

Sebagai bentuk untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka perjanjian standar/baku seringkali dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk ini memudahkan pengusaha untuk membuktikan kesepakatan dari konsumen. Dengan bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Hal seperti inilah yang seringkali merugikan konsumen, kesalahan membaca syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang merugikan konsumen di masa mendatang.

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif :

Biasanya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor, perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar biasanya juga digunakan oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat- syarat baku.

Perjanjian standar ini juga mulai banyak digunakan di Indonesia sebagai akibat dari pergaulan antar bangsa, khususnya dalam bidang usaha. Hal tersebut diungkapkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa :

”Semakin maju teknologi pengangkutan yang mendekatkan jarak hubungan antar bagian dunia, meletakkan Indonesia dalam jaringan yang mudah dijamah oleh kebiasaan (perdagangan) yang dipergunakan di bagian dunia lain. Masuknya perusahaan-perusahaan asing ke Indonesia juga membawa serta penggunaan perjanjian baku, antara lain dalam perjanjian kontraktor, perjanjian perwakilan, perjanjian pemberian jasa (agreement technical services) dan sebagainya.

Sejalan dengan pendapat diatas, Johannes Gunawan menyatakan bahwa :

”Perkembangan yang cukup pesat penggunaan perjanjian standard di indonesia dapat di lihat setelah masuknya modal asing sebagai penyerta dalam pembangunan nasional. Sejak itu nampak akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai dikenal perusahaan-perusahaan multi nasional yang demi efisiensi menggunakan perjanjian standard dalam melakukan kegiatan transaksionalnya.”

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disarikan bahwa pada dasarnya, faktor-faktor pendorong adanya perjanjian standar, antara lain :

1. Kemajuan teknologi.

2. Meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.

3. Kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.

4. Persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.

Sebenarnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perjanjian standar ini, antara lain:

I. Bahwa format perjanjian ini telah dibuat oleh salah satu pihak yang biasanya kedudukannya lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian ini mengabaikan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian. Namun yang perlu dikritisi lebih lanjut adalah ketika pihak yang lain menyetujui perjanjian standar tersebut apakah kemudian juga hal tersebut tidak bisa disebut dengan kebebasan berkontrak.

II. Bahwa pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam perjanjian akan jarang membaca dengan detail dan memahami dengan jelas isi perjanjian standar tersebut. Karena sudah barang tentu perjanjian standar tersebut dirumuskan dalam bentuk yang detail dan dalam bahasa yang tidak mudah dimengerti oleh semua kalangan. Sehingga, karena merasa sudah sangat membutuhkan, pihka yang lebih rendah kedudukannya akan cenderung lebih setuju dengan perjanjian standar yang telah dibuat sebelumnya.

Meskipun demikian, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang menuntut segalanya menjadi lebih cepat, menjadi satu alasan kuat tetap ada dan berkembangnya perjanjian standar ini.



2.2 Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).

Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson”;

“…… men of full age understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the courts…… you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.

Dalam hal ini asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan;



Bahkan ada juga sumber lain yang menambahkan bahwa kebebasan berkontrak juga termasuk kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian itu sendiri. Dalam ketentuan di atas, membuat atau tidak membuat perjanjian dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan hak untuk membuat sebuah perjanjian tau tidak membuat perjanjian. Dengan kata lain tidak ada kewajiban atau ketentuan yang memaksakan bahwa setiap orang harus membauat atau tidak membuat perjanjian, Selain itu, dalam hal membuat perjanjian, maka setiap orang tersebut bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun. Dalam hal ini kalusul “dengan siapa pun” harus lah orang yang cakap hukum dan tidak di bawah pengampuan. Selain itu, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berisi tentang klausul yang ditentukan oleh para pihak, baik itu isi pejanjian, pelaksanaan dan persyaratannya. Namun, ketentuan tersebut harus mengacu tentang syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasa 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian harus memuat suatu sebab yang halal. Dengan kata lain, ketentuan yang dimuat dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh undang-undang. Jika hal ini ternyata dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum atau tidak pernah ada sebelumnya. Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang hal-hal yang diperlukan. Selain itu asas ini menjelaskan bahwa orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut biasa disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).



Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar

Dalam menganalisis mengenai permasalahan di atas, maka perlu diketahui mengenai perjanjian standar/perjjanjian baku itu sendiri. Perjanjian Standar adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausa-klausa yang sudah dibakukan dan dicetak dala bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Perjanjian dibuat oleh para pihak akan tetapi isinya ditetukan oleh salah satu pihak saja. Hal ini menjadi pertanyaan tentang di mana posisi asas kebebasan bertindak dalam hal perjanjian standar atau baku. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah dengan kontrak tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar, sehingga eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi.

Namun begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari perjanjian standar itu sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah banyak. Adapun kekurangan dari perjanjian standar tersebut adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak.

Sehingga kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya klausula yang berat sebelah. Sementara itu, perjanjian standarpun masih mempunyai kelebihan yakni kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.

Sebenarnya perjanjian standar itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat perjanjian standar sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika perjanjian standar tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.

Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopoli dalam segala bidang. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan perjanjian standar yang tidak menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.

Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar individu. Adanya klausul eksenorasi dalam perjanjian standar semakin menunjukan ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh debitur.

Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:

1. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu berbentuk tertulis;

2. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli;

3. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.

Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:

1) kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak;

2) kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.

Dalam melihat fenomena asas kebebasan berkontrak ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian standar tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian standar bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Kelompok kami sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian standar secara teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun dalam hal ini, penggunaan perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.

Apabila dikaji lebih dalam tentang bagaimana terbitnya perjanjian standar, secara yuridis tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 ayat 1 KUHPerdata. Selain KUHPerdata dapat juga kita ikuti beberapa pendapat dan paham tentang daya mengikat perjanjian standar. Ada dua paham yang memberikan jawaban terhadap apakah perjanjian standar melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak:

1. Sluijter mengatakan, perjanjian standar ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.

2. Pitlo, mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walau-pun secara teoritis yuridis, perjanjian standar ini tidak memenuhi ketentuan UU dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

Adapun pendapat lain menyebutkan bahwa perjanjian standar merupakan perjanjian yang sah:

1) Menurut Stein, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

2) Asser Rutten, mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhi tanda tangan pada formulir perjanjian standar, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan telah mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya, tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

3) Hondius, berpendapat bahwa perjanjian standar mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Dari beberapa paham dan pendapat di atas, pada dasarnya perjanjian standar bertentangan asas kebebasan berkontrak, namun dalam kenyataannya pola atau model perjanjian ini diterima oleh masyarakat, oleh karena itu, perjanjian standar terus dipergunakan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama untuk perjanjian yang sifatnya sederhana. Perjanjian yang sifatnya sederhanya adalah transaksi berbisnis yang sifatnya kecil yang sehari-hari dilakukan masyarakat, seperti berbelanja untuk keperluan sehari-hari. Namun, untuk transaksi bisnis yang sifat besar maka diperlukan negosiasi yang mendalam tentang obyek dan harga serta mekanisme kerjasama yang akhirnya melahirkan akte perjanjian.

Teknik pembuatan perjanjian standar didasarkan pada asas kebebasan berkontrak bagi kedua belah pihak. Karena pihak yang merumuskan perjanjian standar itu pihak kreditor, dia memanfaatkan asas kebebasan tersebut dalam menentukan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, syarat-syarat dan prosedur pemenuhannya, dituangkan dalam rumusan kontrak yang cenderung menguntungkan kreditor, seperti menggunakan kata “kecuali, eksonerasi, membebaskan dari tanggung jawab”.

Mengenai pemanfaatan asas kebebasan berkontrak oleh pihak kreditor, Sastrawidjaja merujuk pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjabarkan asas kebebasan berkontrak sebagai bebas membuat perjanjian apa saja, bebas mengatur isinya, bebas mengatur bentuknya, dan semuanya itu dengan ketentuan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lahirnya perjanjian standar dilatar belakangi oleh perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian standar adalah untuk alasan efisiensi dan praktis.

Isi perjanjian standar hanya dirumuskan oleh satu pihak dengan kehendak bebasnya pihak kreditor, tetapi di pihak debitur tidak dapat menyatakan kehendak bebasnya, dengan kata lain tidak ada tawar-menawar mengenai isi kontrak. Pernyataan yang berlaku adalah take it of leave it artinya jika setuju ambil, jika tidak setuju tinggalkan saja. Kondisi seperti ini akan bermanfaat bagi debitur karena kebutuhan atas barang atau jasa yang diinginkan segera akan terpenuhi dan ada kebebasan memilih kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan debitur. Tetapi disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan kreditur dan debitur menjadi tidak seimbang dan debitur selalu berada pada posisi lemah. Posisi kuat selalu ada pada pihak kreditor yang meraup keuntungan besar melalui promosi barang dagangannya dengan menerapkan perjanjian standar yang cenderung merugikan debitur. Syarat-syarat yang lazim terdapat dalam perjanjian standar adalah cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang berlakunya kontrak, cara penyelesaian sengketa, klausula eksonerasi. Keempat hal tersebut menjadi fokus utama dalam perlindungan konsumen, khususnya pada klausula eksonerasi (exemption clausule) yang berisi ketentuan pembebasan atau pembatasan tanggung jawab pelaku usaha.

Aturan hukum perdata selalu dituangkan dalam bentuk perjanjian standar, asal tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian standar yang diatur oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU ini menyebutkan secara tegas secara tegas untuk melarang pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk diperdagangkan dengan cara mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian yang isinya pada dasarnya bertujuan menguntungkan pihak pelaku usaha dan merugikan pihak konsumen . Ketentuan pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Klausula baku dimaksud antara lain menyatakan : pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; pemberi kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.





BAB III

SIMPULAN

Faktor-faktor yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian baku adalah kemajuan teknologi, meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu, kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat, dan persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.

Asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku adalah asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan.





DAFTAR PUSTAKA



BUKU :

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet.1.

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet.3,Jakarta: Kencana,,2006.

Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Mariam Darus Badrulzaman dalam Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000.

-------------, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Bandung,:Alumni, 1980.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987.

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir indonesia, 1993.



JURNAL :



Mukhidin, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku, Jurnal e-Journal.upastegal.ac.id, diakses pada tanggal 13 April 2014, pukul 20.14.



SUMBER LAIN :



http://abikusuma21.blogspot.com/2013/05/makalah-perjanjian-standar.html, diakses pada tanggal 13 April 2014, pukul 19.14 wib.

http://legalbanking.wordpress.com/2012/05/03/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-standard-kontrak-perjanjian-baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/, dikases pada tanggal 13April 2014, pukul 20.35 wib.