Jumat, 17 April 2015

PERJANJIAN BAKU


BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh ketentuan tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Selama perkembangannya hampir setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku ( standard contract), dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.

Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno (423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 telah menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian .

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.

Secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan.

Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan stabilitas negara sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha saat ini menimbulkan akibat meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan terlebih dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur syarat-syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif. Hal ini karena pengusaha berada pada posisi lebih superior daripada konsumen ataupun perjanjian standar ini sering digunakan antara golongan ekonomi kuat dengan ekonomi lemah.

Adanya syarat-syarat (klausula) sepihak tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun pihak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian standar diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.

Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.



1.2 Rumusan Masalah

1. Faktor-Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian baku ?

2. Bagaimana asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku ?






BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Faktor-Faktor Yang Menjadi Pendorong Berkembangnya Perjanjian Baku

Perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar, merupakan suatu perjanjian yang didalamnya terdapat beberapa hal yang dibakukan yang meliputi model, rumusan, dan ukuran. Menurut Sutan Remy Sjahdeini perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersbut, sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klusul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku.

Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dengan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi diantara mereka. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis terjadibukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak. Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah ada, kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian ini disebut juga perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian adhesi.

Perkembangan kebutuhan dalam masyarakat akan sesuatu yang instan dan cepat mensyaratkan proses yang cepat pula. Dalam hal melakukan perjanjian sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat juga semakin ingin proses yang cepat. Hal inilah yang turut memacu berkembanganya perjanjian standar. Perjanjian Standar ini bagai dua sisi koin mata uang. Disatu sisi, dengan adanya perjanjian standar mempercepat proses karena format baku perjanjian tertulis tersebut sudah ada, namun, disisi lain, kadang karena orang ingin sesuatu dengan cepat, dia menjadi tidak berhati-hati dalam menandatangani perjanjian standar tersebut.

Perjanjian standar atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah standard contract, adhesion contract, atau boilerplate contract; sebenarnya sudah ada sejak dulu. E.H. Hondius dalam Comendium Hukum Belanda mengungkapan bahwa:

”Meskipun demikian yang disebut model-model kontrak telah mempunyai sejarah ribuan tahun. Ketika lima ribu tahun yang lalu di Mesir dan negara dua sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama. sesudah itu di banyak peradaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rokhaniawan”

Hondius juga menyatakan bahwa kebutuhan akan syarat-syarat baku kontrak di Eropa Barat terutama dalam abad kesembilan belas menjadi besar. Kongsi-kongsi dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka, ditiadakan. Revolusi Industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang naik besar, menjadikan pemakaian formulir-formulir baku diperlukan, karena pembuatan transaksi-transaksi penting, sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam abad ke 20, pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas.

Pitlo menyatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial ekonomi, dimana perusahaan besar, seperti perusahaan yang dimiliki oleh negara dalam mengadakan kerja sama, telah menentukan syarat-syarat sepihak untuk kepentingan mereka. Dapat dilihat bahwa sebenarnya orang-orang sudah menyadari kebutuhan akan perjanjian standar. Banyak negara yang juga telah menyadari pentingnya peraturan mengenai perjanjian standar ini. Konsep perjanjian standar ini sebenarnya berasal dari hukum perdata Perancis, hingga pada akhirnya ”Harvard Law Review” menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Edwin W. Patterson pada tahun 1919. Yang kemudian inti dari artikel tersebut banyak diadopsi oleh Pengadilan di Amerika, terutama setelah Supreme Court of California mendukung analisis terkait Perjanjian Standar pada tahun 1962. Dalam Bab 3, ”Unfair Contract Terms Act 1977”, Inggris membatasi penyusun kontrak perjanjian standar untuk menuliskan klausula yang membolehkan pihak untuk bertindak baik sebagian maupun sepenuhnya berbeda dari apa yang bisa diperkirakan dengan akal. Standard Form Contract Act 1982 di Israel, mensyaratkan beberapa kondisi dalam kontrak yang bisa dibatalkan oleh pengadilan; diantaranya yaitu pengecualian dan pembatasan tanggung jawab yang tidak masuk akal, pemberian hak istimewa yang tidak masuk akal, transfer atau pengalihan tanggung jawab. Dalam Article 6.185. Standard Conditions of Contracts, Lithuanian Civil Code I, dinyatakan bahwa syarat-syarat standar yang disiapkan oleh salah satu pihak, harus mengikat pihak pihak lain, asal ada cukup waktu untuk mengetahui syarat-syarat tersebut, atau dapat dikatakan bahwa pihak lain itu mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standar tersebut.

Seiring perkembangan kebutuhan masyarakat, ciri-ciri perjanjian standar berkembang mengikuti kebutuhan dan tuntutan tersebut. Yang sangat menonjol ciri-ciri ini mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang disodorkan oleh pengusaha. Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.

Secara lebih rinci perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Berikut penjelasan dari kelima ciri tersebut :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat :

Dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tangani perjanjian tersebut.

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian:

Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:

a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani

c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.


3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu :

Sebagi pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah maka konsumen tidak dapat mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang disodorkan kepadanya, maka di tanda tangani perjanjian itu. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah dan walaupun pihak konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ”take it or leave it”.

4. Bentuk tertulis

Sebagai bentuk untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka perjanjian standar/baku seringkali dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk ini memudahkan pengusaha untuk membuktikan kesepakatan dari konsumen. Dengan bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Karena dibuat secara tertulis maka perjanjian yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Hal seperti inilah yang seringkali merugikan konsumen, kesalahan membaca syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang merugikan konsumen di masa mendatang.

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif :

Biasanya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor, perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar biasanya juga digunakan oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat- syarat baku.

Perjanjian standar ini juga mulai banyak digunakan di Indonesia sebagai akibat dari pergaulan antar bangsa, khususnya dalam bidang usaha. Hal tersebut diungkapkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa :

”Semakin maju teknologi pengangkutan yang mendekatkan jarak hubungan antar bagian dunia, meletakkan Indonesia dalam jaringan yang mudah dijamah oleh kebiasaan (perdagangan) yang dipergunakan di bagian dunia lain. Masuknya perusahaan-perusahaan asing ke Indonesia juga membawa serta penggunaan perjanjian baku, antara lain dalam perjanjian kontraktor, perjanjian perwakilan, perjanjian pemberian jasa (agreement technical services) dan sebagainya.

Sejalan dengan pendapat diatas, Johannes Gunawan menyatakan bahwa :

”Perkembangan yang cukup pesat penggunaan perjanjian standard di indonesia dapat di lihat setelah masuknya modal asing sebagai penyerta dalam pembangunan nasional. Sejak itu nampak akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai dikenal perusahaan-perusahaan multi nasional yang demi efisiensi menggunakan perjanjian standard dalam melakukan kegiatan transaksionalnya.”

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disarikan bahwa pada dasarnya, faktor-faktor pendorong adanya perjanjian standar, antara lain :

1. Kemajuan teknologi.

2. Meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.

3. Kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.

4. Persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.

Sebenarnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perjanjian standar ini, antara lain:

I. Bahwa format perjanjian ini telah dibuat oleh salah satu pihak yang biasanya kedudukannya lebih tinggi dibandingkan pihak yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa perjanjian ini mengabaikan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian. Namun yang perlu dikritisi lebih lanjut adalah ketika pihak yang lain menyetujui perjanjian standar tersebut apakah kemudian juga hal tersebut tidak bisa disebut dengan kebebasan berkontrak.

II. Bahwa pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam perjanjian akan jarang membaca dengan detail dan memahami dengan jelas isi perjanjian standar tersebut. Karena sudah barang tentu perjanjian standar tersebut dirumuskan dalam bentuk yang detail dan dalam bahasa yang tidak mudah dimengerti oleh semua kalangan. Sehingga, karena merasa sudah sangat membutuhkan, pihka yang lebih rendah kedudukannya akan cenderung lebih setuju dengan perjanjian standar yang telah dibuat sebelumnya.

Meskipun demikian, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat yang menuntut segalanya menjadi lebih cepat, menjadi satu alasan kuat tetap ada dan berkembangnya perjanjian standar ini.



2.2 Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).

Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson”;

“…… men of full age understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the courts…… you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.

Dalam hal ini asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan;



Bahkan ada juga sumber lain yang menambahkan bahwa kebebasan berkontrak juga termasuk kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian itu sendiri. Dalam ketentuan di atas, membuat atau tidak membuat perjanjian dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan hak untuk membuat sebuah perjanjian tau tidak membuat perjanjian. Dengan kata lain tidak ada kewajiban atau ketentuan yang memaksakan bahwa setiap orang harus membauat atau tidak membuat perjanjian, Selain itu, dalam hal membuat perjanjian, maka setiap orang tersebut bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun. Dalam hal ini kalusul “dengan siapa pun” harus lah orang yang cakap hukum dan tidak di bawah pengampuan. Selain itu, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berisi tentang klausul yang ditentukan oleh para pihak, baik itu isi pejanjian, pelaksanaan dan persyaratannya. Namun, ketentuan tersebut harus mengacu tentang syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasa 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian harus memuat suatu sebab yang halal. Dengan kata lain, ketentuan yang dimuat dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh undang-undang. Jika hal ini ternyata dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum atau tidak pernah ada sebelumnya. Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang hal-hal yang diperlukan. Selain itu asas ini menjelaskan bahwa orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut biasa disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).



Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar

Dalam menganalisis mengenai permasalahan di atas, maka perlu diketahui mengenai perjanjian standar/perjjanjian baku itu sendiri. Perjanjian Standar adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausa-klausa yang sudah dibakukan dan dicetak dala bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Perjanjian dibuat oleh para pihak akan tetapi isinya ditetukan oleh salah satu pihak saja. Hal ini menjadi pertanyaan tentang di mana posisi asas kebebasan bertindak dalam hal perjanjian standar atau baku. Untuk dapat membatalkannya perlu menonjolkan apakah dengan kontrak tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar, sehingga eksistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi.

Namun begitu, walupun banyak kelemahannya eksistensi dari perjanjian standar itu sendiri sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah banyak. Adapun kekurangan dari perjanjian standar tersebut adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak.

Sehingga kontrak tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya klausula yang berat sebelah. Sementara itu, perjanjian standarpun masih mempunyai kelebihan yakni kontrak tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak.

Sebenarnya perjanjian standar itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat perjanjian standar sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika perjanjian standar tersebut mengandung unsur yang tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.

Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopoli dalam segala bidang. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan perjanjian standar yang tidak menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.

Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar individu. Adanya klausul eksenorasi dalam perjanjian standar semakin menunjukan ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaati oleh debitur.

Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:

1. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian selalu berbentuk tertulis;

2. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli;

3. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli.

Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:

1) kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak;

2) kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.

Dalam melihat fenomena asas kebebasan berkontrak ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian standar tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian standar bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Kelompok kami sendiri dalam hal ini tidak memihak pada salah satu dari kedua paham tersebut. Di satu sisi penulis lebih melihat bahwa perjanjian standar secara teoretis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur. Namun di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun dalam hal ini, penggunaan perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.

Apabila dikaji lebih dalam tentang bagaimana terbitnya perjanjian standar, secara yuridis tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 ayat 1 KUHPerdata. Selain KUHPerdata dapat juga kita ikuti beberapa pendapat dan paham tentang daya mengikat perjanjian standar. Ada dua paham yang memberikan jawaban terhadap apakah perjanjian standar melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak:

1. Sluijter mengatakan, perjanjian standar ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.

2. Pitlo, mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walau-pun secara teoritis yuridis, perjanjian standar ini tidak memenuhi ketentuan UU dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

Adapun pendapat lain menyebutkan bahwa perjanjian standar merupakan perjanjian yang sah:

1) Menurut Stein, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

2) Asser Rutten, mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhi tanda tangan pada formulir perjanjian standar, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan telah mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya, tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

3) Hondius, berpendapat bahwa perjanjian standar mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Dari beberapa paham dan pendapat di atas, pada dasarnya perjanjian standar bertentangan asas kebebasan berkontrak, namun dalam kenyataannya pola atau model perjanjian ini diterima oleh masyarakat, oleh karena itu, perjanjian standar terus dipergunakan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama untuk perjanjian yang sifatnya sederhana. Perjanjian yang sifatnya sederhanya adalah transaksi berbisnis yang sifatnya kecil yang sehari-hari dilakukan masyarakat, seperti berbelanja untuk keperluan sehari-hari. Namun, untuk transaksi bisnis yang sifat besar maka diperlukan negosiasi yang mendalam tentang obyek dan harga serta mekanisme kerjasama yang akhirnya melahirkan akte perjanjian.

Teknik pembuatan perjanjian standar didasarkan pada asas kebebasan berkontrak bagi kedua belah pihak. Karena pihak yang merumuskan perjanjian standar itu pihak kreditor, dia memanfaatkan asas kebebasan tersebut dalam menentukan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, syarat-syarat dan prosedur pemenuhannya, dituangkan dalam rumusan kontrak yang cenderung menguntungkan kreditor, seperti menggunakan kata “kecuali, eksonerasi, membebaskan dari tanggung jawab”.

Mengenai pemanfaatan asas kebebasan berkontrak oleh pihak kreditor, Sastrawidjaja merujuk pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjabarkan asas kebebasan berkontrak sebagai bebas membuat perjanjian apa saja, bebas mengatur isinya, bebas mengatur bentuknya, dan semuanya itu dengan ketentuan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lahirnya perjanjian standar dilatar belakangi oleh perkembangan masyarakat modern dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian standar adalah untuk alasan efisiensi dan praktis.

Isi perjanjian standar hanya dirumuskan oleh satu pihak dengan kehendak bebasnya pihak kreditor, tetapi di pihak debitur tidak dapat menyatakan kehendak bebasnya, dengan kata lain tidak ada tawar-menawar mengenai isi kontrak. Pernyataan yang berlaku adalah take it of leave it artinya jika setuju ambil, jika tidak setuju tinggalkan saja. Kondisi seperti ini akan bermanfaat bagi debitur karena kebutuhan atas barang atau jasa yang diinginkan segera akan terpenuhi dan ada kebebasan memilih kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan debitur. Tetapi disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan kreditur dan debitur menjadi tidak seimbang dan debitur selalu berada pada posisi lemah. Posisi kuat selalu ada pada pihak kreditor yang meraup keuntungan besar melalui promosi barang dagangannya dengan menerapkan perjanjian standar yang cenderung merugikan debitur. Syarat-syarat yang lazim terdapat dalam perjanjian standar adalah cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang berlakunya kontrak, cara penyelesaian sengketa, klausula eksonerasi. Keempat hal tersebut menjadi fokus utama dalam perlindungan konsumen, khususnya pada klausula eksonerasi (exemption clausule) yang berisi ketentuan pembebasan atau pembatasan tanggung jawab pelaku usaha.

Aturan hukum perdata selalu dituangkan dalam bentuk perjanjian standar, asal tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian standar yang diatur oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU ini menyebutkan secara tegas secara tegas untuk melarang pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk diperdagangkan dengan cara mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian yang isinya pada dasarnya bertujuan menguntungkan pihak pelaku usaha dan merugikan pihak konsumen . Ketentuan pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Klausula baku dimaksud antara lain menyatakan : pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; pemberi kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.





BAB III

SIMPULAN

Faktor-faktor yang menjadi pendorong berkembangnya perjanjian baku adalah kemajuan teknologi, meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu, kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat, dan persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.

Asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku adalah asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat. Penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak diwujudkan.





DAFTAR PUSTAKA



BUKU :

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet.1.

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, cet.3,Jakarta: Kencana,,2006.

Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Mariam Darus Badrulzaman dalam Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000.

-------------, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Bandung,:Alumni, 1980.

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987.

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir indonesia, 1993.



JURNAL :



Mukhidin, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku, Jurnal e-Journal.upastegal.ac.id, diakses pada tanggal 13 April 2014, pukul 20.14.



SUMBER LAIN :



http://abikusuma21.blogspot.com/2013/05/makalah-perjanjian-standar.html, diakses pada tanggal 13 April 2014, pukul 19.14 wib.

http://legalbanking.wordpress.com/2012/05/03/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-standard-kontrak-perjanjian-baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/, dikases pada tanggal 13April 2014, pukul 20.35 wib.



1 komentar:

  1. Apakah Anda membutuhkan kredit yang mendesak?

    * Transfer Sangat Cepat dan Instan ke rekening bank Anda
    Bayar kembali bulan setelah Anda mendapatkan pinjaman di bank Anda
    akun bank
    * Suku bunga rendah 2%
    * Pengembalian jangka panjang (1-30) Panjang
    * Pinjaman fleksibel dan gaji bulanan
    *. Berapa lama untuk membiayai? Setelah mengajukan pinjaman
    Anda mungkin mengharapkan jawaban awal kurang dari 24 jam
    pembiayaan dalam 48 jam setelah menerima informasi yang mereka butuhkan
    Dari para kru Di perusahaan pinjaman ROSSA STANLEY, kami adalah perusahaan pembiayaan yang berpengalaman yang menyediakan fasilitas pinjaman yang mudah, tulus, serius, korporasi, hukum dan publik dengan bunga 2%. Kami memiliki akses ke koleksi uang tunai untuk diberikan kepada perusahaan dan mereka yang memiliki rencana untuk memulai bisnis tidak peduli seberapa kecil atau besar, kami memiliki uang tunai. Yakinlah bahwa kesejahteraan dan kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami, mengapa kami di sini untuk mengurus pemrosesan pinjaman Anda.

    Hubungi perusahaan pinjaman yang sah dan dapat dipercaya dengan rekam jejak layanan yang memberikan kebebasan finansial kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
    Untuk informasi lebih lanjut dan pinjaman yang diminta untuk mengatur bisnis Anda, beli rumah, beli mobil, liburan, hubungi kami melalui,

    E-mail resmi: rossastanleyloancompany@gmail.com
    Instagram resmi: Rossamikefavor
    Twitter Resmi: Rossastanlyloan
    Facebook resmi: rossa stanley mendukung
    CSN: +12133153118
    untuk respon cepat dan cepat.
    Silakan mengisi formulir aplikasi di bawah ini dan kami akan menghubungi Anda lagi, Kami tersedia 24/7

    DATA PEMOHON

    1) Nama Lengkap:

    2) Negara:

    3) Alamat:

    4) Jenis Kelamin:

    5) Status Perkawinan:

    6) Pekerjaan:

    7) Nomor Telepon:

    8) posisi di tempat kerja:

    9) Penghasilan Bulanan:

    10) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:

    11) Jangka Waktu Pinjaman:

    12) nama facebook:

    13) Nomor Whatsapp:

    14) Agama:

    15) Tanggal lahir:

    SALAM,
    Mrs.Rossa Stanley Favor
    ROSSASTANLEYLOANCOMPANY
    Email rossastanleyloancompany@gmail.com

    BalasHapus