Jumat, 17 April 2015

PENGARUH GATT/WTO TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA

PENGARUH GATT/WTO TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA



World Trade Organization atau WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang dihasilkan dari Putaran Uruguay General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT (1986 – 1994). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT

Pertama kali yaitu pada tahun 1948, yang hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional bernama Internasional Trade Organization (ITO). Namun upaya atau usulan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah mengalami beberapa tahun perundingan (1945 – 1948) mengalami hambatan, ternyata Kongres Amerika Serikat menolak menandatangani Piagam Pendirian ITO. Kebetulan pada waktu Piagam ITO dirancang di Konfrensi Jenewa, pada waktu yang bersamaan dirancang pula GATT.

WTO merupakam badan internasional yang dibentuk sebagai satu upaya untuk mendorong terciptanya liberalisasi perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan multilateral yang transparan, adil dan predictable. Anggota WTO saat ini telah mencapai 150 negara. Sejak berdirinya pada tanggal 1 Januari 1995, berbagai perundingan dan negosiasi telah dilaksanakan untuk menciptakan regulasi dalam suatu sistem perdagangan liberal oleh para anggotanya, termasuk Indonesia. Aktifnya WTO dalam menciptakan aturan perdagangan multilateral tercermin dengan lahirnya perundingan Pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA).

Struktur WTO dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference) Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan semua negara anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjanya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan – kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).

The Council for Trade in Goods bertugas mengawasi pelaksanaan dan bagaimana berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-perjanjian tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan perjanjian WTO. Badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider lainnya ketika dipandang perlu.

Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktik yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, putusan akan diambil melalui pemungutan suara atau voting.



Putaran Perundingan Doha

Konferensi Tingkat Menteri pertama kali diselenggarakan di Singapura pada tahun 1996, kedua diselenggarakan di Jenewa tahu 1998, ketiga diselenggarakan di Seattle tahun 1999, keempat diselenggarakan di Doha, Qatar tahun 2001, kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003 dan yang terakhir di Hong Kong tahun 2005. KTM ke-4 yang berlangsung pada tanggal 9 – 14 November 2001 dihadiri oleh 142 negara. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), Penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan-badan dibawahnya (subsidiaries body). Selebihnya dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Council dan Committees yang ada di WTO.

Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan “Agenda Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti : kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi negara-negara terbelakang, dan program-program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke dalam WTO.

Keputusan lain yang penting bagi negara-negara berkembang adalah disetujuinya pembentukan 2 kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Hutang dan Keuangan serta Kelompok Kerja Alih Teknologi. Deklarasi juga memberikan akses duty-free dan quota-free untuk produk-produk yang berasal dari negara-negara berkembang terbelakang. Mengenai “perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkret mengenai isu akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional.

Sejak dicanangkannya Doha Development Agenda (DDA), perundingan Putaran Doha telah mengalami banyak pasang surut yang ditandai dengan beberapa kali kemacetan sebagai akibat timbulnya perbedaan yang tajam antara negara-negara kunci dalam perundingan isu-isu contentions, khususnya Pertanian, Non Agricultural Market Access (NAMA) dan jasa. Selain itu, perundingan untuk membahas penekanan aspek pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Doha Development Agenda juga sangat lamban dan sering mengalami berbagai kebuntuan. Kebuntuan ini disebabkan karena besarnya kepentingan ekonomi negara-negara (baik berkembang maupun maju) terhadap isu-isu pertanian, NAMA, jasa dan pembangunan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor utama sulitnya negara-negara anggota, khususnya negara-negara kunci dalam perundingan WTO, untuk merubah posisi pada keempat isu tersebut secara substansial yang pada gilirannya berujung pada macetnya perundinganPutaran Doha.




C. Posisi Indonesia dalam Putaran Perundingan Doha

1 Pertanian

Isu yang paling banyak diangkat dalam perundingan ini adalah mengenai isu pertanian. Perundingan di sektor pertanian meliputi 3 (tiga) isu utama, yaitu Akses Pasar, Subsidi Ekspor dan Subsidi Domestik. Selain tiga isu utama tersebut, perundingan juga membahas isu special and differential treatment yang bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi negara-negara berkembang khususnya dalam mengatasi masalah food security, rural development, dan poverty alleviation. Peta posisi masing-masing negara secara umum terbagi atas 4 (empat) kelompok, antara lain :

Ø Kelompok AS dan EC, yang ingin mempertahankan pemberian subsidi yang berlebihan kepada petaninya dan mengupayakan agar negara berkembang membuka pasarnya.

Ø Kelompok G-10 terdiri dari Swiss, Jepang, Norwegia, Korea, Maritius dan Israel, yang ingin mempertahankan pemberian subsidi bagi petaninya, namun tidak ingin membuka pasar negara. Kelompok ini tidak agresif dalam usaha membuka pasar negara berkembang.

Ø Kelompok G-20 dan Cairns Group, yang berusaha menghapuskan seluruh subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju dan meliberalisasi perdagangan di bidang pertanian.

Ø Kelompok G-33 dikoordinasi oleh Indonesia, yang berusaha agar produk pertanian tertentu dari negara berkembang dikecualikan dari liberalisasi. Kelompok ACP, LDC dan Afrika, ingin agar preference yang diberikan oleh negara – negara maju tetap dipertahankan.

Kepentingan utama Indonesia yaitu Special Product (SP), Special Mechanism (SSM), dan subsidi kategori de minimis framework Annex A dalam keputusan Dewan Umum WTO, telah banyak mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Untuk itu isu-isu tersebut bahasa yang digunakan dalam Annex A, telah banyak disesuaikan dengan proposal dan permintaan Indonesia serta Kelompok G-33 yang dikoordinir oleh Indonesia.

Perundingan sektor pertanian tetap menjadi isu perundingan yang mendapatkan sorotan utama dari seluruh negara anggota mengingat masih terdapatnya pertentangan antara negara berkembang dan negara maju pada ketiga pilar perundingan pertanian. Sebagai Koordinator G-33, Indonesia memainkan peran yang sangat krusial dalam perundingan sektor ini.

Di bidang akses pasar, usulan Indonesia atau G-33 agar negara berkembang diberikan fleksibilitas dalam menetapkan beberapa tariff lines sebagai SPs yang didasarkan pada indikator yang terkait dengan food security, livehoo security and rural development needs, telah disepakati. Negara-negara berkembang juga menggunakan volume trigger dan price trigger untuk mengatasi banyaknya impor. Dengan demikian upaya Indonesia untuk menggolkan konsep SP dan SSM yang lebih menguntungkan negara berkembang telah diterima oleh negara anggota lainnya.



2. Akses Pasar untuk Produk non Pertanian (Non Agricultural Market Access / NAMA)

Perundingan Akses Pasar untuk produk non pertanian diwarnai dengan tingkat ambisi yang berbeda-beda. Negara-negara maju dan beberapa negara berkembang memiliki tingkat ambisi yang tinggi dan menghendaki agar perundingan berdampak kepada penurunan drastis bahkan penghapusan tarif dunia. Sedangkan sebagian besar negara berkembang memiliki tingkat ambisi yang lebih moderat, sehingga mereka menghendaki hasil perundingan tidak menurunkan tarif secara drastis. Salah satu isu penting yang masih menjadi kendala dalam proses perundingan Akses Pasar untuk produk non pertanian adalah formula penurunan tarif yang akan digunakan. Apakah akan menggunakan penurunan tarif secara linear seperti yang diusulkan negara berkembang, atau menggunakan penurunan tarif secara terbuka seperti yang diusulkan negara maju.

Pada KTM VI di Hong Kong, dalam perundingan akses pasar produk nonpertanian (NAMA), Indonesia termasuk kedalam kelompok NAMA 11 sebagai kelompok kunci perundingan sektor NAMA tetap konsisten dalam mengupayakan fleksibilitas bagi negara berkembang dalam modalitas perundingan NAMA. Negara berkembang dalam hal ini mendapatkan jangka waktu implementasi penurunan tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu dari formula penurunan tarif dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah produk tertentu.

Mengenai penurunan tarif sektoral, negara anggota menyepakati prinsip penurunan tarif sektoral yang sejalan dengan posisi Indonesia yang menolak penurunan tarif sektoral secara mandatory. Selanjutnya, negara anggota juga menyepakati mekanisme penanganan hambatan non tarif dan perlakuan terhadap unbound tariff. Modalitas di bidang NAMA harus diselesaikan paling palmbat tanggal 30 April 2006 dan draft jadwal yang komprehensif berdasarkan modalitas harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Juli 2006.



3. Jasa

Perundingan jasa di WTO merupakan hasil perundingan Putaran Uruguay yang berlangsung sejak 1986 hingga 1993. Perundingan jasa merupakan salah satu isu yang menjadi perdebatan sengit antara kelompok negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju dengan tingkat ambisi yang tinggi menuntut negara berkembang untuk membuka akses pasar atau membuat komitmen yang lebih besar dari tingkat komitmen yang telah ada. Hal ini mendapatkan tantangan sangat keras dari kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan argumentasi bahwa liberalisasi yang lebih luas harus didasarkan kepada fleksibilitas, tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor yang merupakan kepentingan masing-masing negara serta prioritas kebijakan pembangunan nasional.

Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-4 di Doha yang menghasilkan Deklarasi Doha, telah memberikan pengaruh cukup besar dalam perkembangan perundingan sektor jasa. Pertama, Deklarasi Doha memasukkan mandat mengenai perdagangan sektor jasa-jasa dalam suatu program kerja yang lebih luas dan dalam suatu rangkaian perundingan yang harus diselesaikan sebelum Januari 2005. Kedua, Deklarasi Doha menetapkan batas waktu penyampaian initial request dan initial offers.

Saat ini Indonesia sedang mempersiapkan initial offers, yang kemungkinan besar akan disampaikan kepada WTO pada tahun 2005. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia mempunyai waktu untuk menganalisa substansi dan cakupan initial offers-nya, yang akan dibahas bersama bersama negara-egara mitra runding dalam berbagai pertemuan bilateral pada sidang jasa bulan Februari 2005.



Analisis

Menurut Setiawan, skema liberalisasi perdagangan yang diterapkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa (G-7) telah menghancur luluh lantakkan Industri kecil dan koperasi kita. Tidak ada lagi proteksi bagi pengusaha kecil. Sistem kapitalisme merajalela merubah mindset dan sistem perekonomian kita yang pada waktu itu sudah mulai menggeliat. Bahkan Indonesia sudah sempat mengalami surplus beras pada waktu itu sehingga mampu melakukan swasembada beras.

Skema Liberalisasi Ekonomi tersebut dilancarkan negara-negara maju melalui World Trade Organization(WTO). Setiawan mengistilahkan WTO sebagai Sistem keamanan utama global, yang juga ditopang oleh sistem keamanan kawasan atau regional yang disebut FTA (Free Trade Agreement) dengan berbagai variannya. Melalui FTA, setiap negara yang terikat dengannya dipaksa meliberalisasi pasarnya agar terbuka lebar untuk dimasuki barang dan jasa, terutama sektor keuangan. Indonesia sendiri sudah terikat dengan AFTA tahun 2002, China-ASEAN-AFTA tahun 2004, dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007.

Begitulah. Kegagalan Indonesia sebagai negara swasembada pangan nampaknya harus dibaca sebagai akibat dari dampak skema liberalisasi ekonomi WTO berikut FTA sebaga variannya. Berikut sekelumit tentang WTO sebagai sistem pengendali negara-negara adidaya ekonomi AS dan Uni Eropa.

Setelah Perang Dunia II berakhir, IMF dan Bank Dunia melahirkan sebuah organisasi perdagangan dunia yang bernama GATT (yang kemudian berobah jadi WTO seperti kita kenal sekarang), di Jenewa, Swiss tahun 1948, sebagai implementasi hasil konferensi Bretton Woods, di New Hampshire, tahun 1944, yang disponsori oleh Amerika Serikat.Pada awal berdirinya, GATT beranggotakan 23 negara, dan terus berkembang menjadi 115 negara pada sidang di Marakesh, Maroko, 5 April 1994. Ada tiga prinsip utama GATT yang mengikat negara-negara anggotanya antara lain:

a. Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.

b. Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.

c. Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.

Menjelang bubarnya Uni Soviet tahun 1998, GATT bermetamorfosis menjadi WTO pada 1 Januari 1995, dan mulai memberlakukan berbagai “jurus baru” dalam kesepakatan sistem perdagangan multilateral antar 120 negara anggotanya. Hasil Putaran Uruguay yang berakhir di Marakesh, Maroko, April 1994, menghasilkan 60 perjanjian yang dikenal dengan Marakesh Agreement, yang terbagi atas enam pilar yang merupakan pengembangan tiga jurus GATT dalam menaklukkan dunia, yakni:

1. Perjanjian mengenai kesepakatan pendirian WTO.

2. Penjanjian perdagangan barang (goods) yang meliputi pembukaan akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi.

3. Perjanjian jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS).

4. Perjanjian hak atas kekayaan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS).

5. Perjanjian penyelesaian sengketa dan aturan investasi (TRIMs).

6. Perjanjian kajian ulang atas kebijakan dagang negara-negara anggota (Trade Policy Reviews).

Instalasi keenam pilar tersebut diatas ke dalam sistem WTO ternyata tidaklah berjalan mulus, bahkan mendapat tentangan keras dari gerakan anti perdagangan bebas. Sebelum Sidang Umum WTO tahun 2004 yang menghasilkan Doha Development Agenda yang berisi isu-isu pembangunan untuk negara-negara tertinggal (Least developed countries/LDCs), Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO sudah dua kali gagal: di Seattle, AS (1990) dan Cancun, Mexico (2003).

Bahkan KTM Keenam di Hongkong (2005) mengalami stagnan. Detail angka dan teknis liberalisasi perdagangan dengan masa tenggat waktu sampai 30 April 2006 tidak tercapai. Hal tersebut sangat mengecewakan banyak korporasi-korporasi transnasional yang sudah bersiap-siap memperluas pasarnya. Kebuntuan tersebut penyebabnya utamanya adalah masalah pertanian. Demikian pula pada pertemuan G-4 di Postdam, Jerman (Juni 2007) lagi-lagi tersandung masalah pertanian.

AoA (Agreement on Agriculture) adalah masalah utama WTO, karena negara maju memang tidak memberikan tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil seperti G-33 dan G-90, disini Indonesia dan Filipina menjadi motor yang menolak proposal negara-negara maju, sehingga terjadi perlawanan terhadap upaya negara maju yang ingin mendomininasi akses pasar, dengan tetap melakukan subsidi domestik dan subsidi ekspor.

Demikian pula kegagalan KTM WTO Kelima di Cancun, Mexico (2003), adalah munculnya kekuatan baru negara berkembang yang dimotori oleh Brazil dan India yang menolak usulan pertanian aliansi AS-Uni Eropa yang tidak berubah, yakni tetap mempertahankan subsidi pertaniannya, sementara negara berkembang ingin subsidi tersebut dipotong karena jumlahnya terlalu besar.

Bayangkan bila negara maju terus mensubsidi dan memproteksi produk dalam negerinya, lalu melempar produk mereka sebanyak-banyaknya ke negara lain anggota WTO, hal ini jelas hanya menguntungkan korporasi-korporasi transnasional yang berasal dari negara maju saja.

Inilah konteks mengapa terjadi kelangkaan produk-produk holtikultura di Indonesia. Bukan sekadar karena langkanya infrastruktur pertanian sebagaimana pandangan Arif Satria.









2 komentar: